Para perajin di desa itu menjalankan usahanya secara turun temurun dan tidak sedikit yang masih berhubungan kerabat.
Agus Widodo misalnya, adalah generasi ketiga dari usaha genteng di lingkup keluarganya. Dia berdikari setelah ikut kerja Nohari (63), bapaknya.
Nohari sendiri, yang lebih sepuh, tidak mengetahui pasti kapan mulai ada produksi genteng di desanya. Hanya saja dia mengingat bahwa kisaran tahun 1985-an mulai ada modernisasi industri.
"Peralatan-peralatan yang dari kayu itu mulai berganti logam. Misalnya alat cetaknya," ungkap Nohari.
Baca juga: Masih Ada Kasus Pembuangan Bayi di Kediri, Ternyata Begini Prosedur Perawatan Setelah Ditemukan
Dari situ, lanjut Nohari, produksi genteng di desanya semakin maju. Apalagi para perajin banyak mendapat berbagai pelatihan dari pemerintah maupun pihak swasta.
"Semua itu tak lepas dari jasa Pak Sahlan, yang memajukan industri genteng sini," lanjut Nohari yang merupakan anak Sahlan ini.
Bahkan dari Sahlan pula, di desa tersebut dulunya terbentuk koperasi perajin genteng. Dari koperasi itu jaminan pasar maupun jangkauan menjadi semakin luas.
Agus Widodo menambahkan, sentra industri mendapatkan kejayaan di era tahun 90-an sampai tahun 2000.
Baca juga: Detik-detik Innova Tertabrak Kereta Api di Kediri, Terpental hingga Terguling ke Parit
Saat itu, kata dia, seluruh genteng yang diproduksi warga desa hanya dilabeli atau cap M, yang merujuk Manyaran sebagai nama desa.
Saat itu pula, kata Widodo, jumlah perajin bertambah pesat mencapai 300 perajin. Otomatis banyak menyerap tenaga kerja yang tidak hanya dari desanya sendiri.
"Orang-orang luar desa pada datang ke sini. Dulu jadi jujukan orang mencari kerja," lanjut Widodo yang menamai Karya Indah untuk produk gentingnya ini.
Namun perkembangan desanya itu perlahan mengalami penurunan. Tidak sedikit perajin yang kolaps lalu menutup usaha.
Penutupan itu, Widodo menganalisa, terjadi karena beberapa faktor. Misalnya karena banyaknya generasi muda yang ogah bekerja di bidang industri genteng.
Baca juga: Menteri ATR Hadi Tjahjanto Bentuk Satgas Atasi Konflik Lahan di Kediri
"Banyak generasi muda sini yang memilih bekerja di luaran sana. Padahal kalau ditekuni, hasil usaha genteng juga gak kalah," ujarnya.
Lalu faktor selanjutnya, masih kata Widodo, adalah susahnya mendapatkan tanah liat sebagai bahan baku genteng.
Bahan baku itu sendiri, kata Widodo, memang menggunakan tanah liat yang berasal dari desanya sendiri karena mempunyai kualitas bagus.
Namun saat ini semakin susah mendapatkannya karena lahan yang ada semakin menyempit seiring pertambahan penduduk.
"Apalagi kawasan Manyaran juga masuk dalam kawasan bandara. Jadi akan semakin susah mendapatkan bahan," ujarnya.
Baca juga: Kasus Kredit Macet Bank Jatim Rp 4,7 Milliar, Mantan Pimpinan Cabang Ditahan Kejaksaan
Selain itu berkurangnya jumlah perajin juga karena faktor persaingan usaha yang ketat.
Tidak hanya antar produsen genteng dari berbagai tempat, tetapi juga dengan atap logam maupun beton.
"Sekarang kan banyak masyarakat yang bangun rumah atapnya pakai atap lain, bukan genteng," ujar Widodo.
Perihal atap nongenting tanah liat itu, memang dirasa lebih terjangkau dari sisi harga sehingga bisa menghemat biaya.
"Sekaligus efisien dalam pemasangannya dan hemat ongkos tukang," ujar Faisol (23), pemilik toko bangunan di Cerme, Kecamatan Gringging ini.
Dia mencontohkan, satu meter persegi atap membutuhkan genteng sekitar 25 biji dengan harga kisaran @ Rp 2.500. Padahal untuk asbes ukuran 80x180 harganya cuma sekitar Rp 65.000 bahkan banyak yang lebih murah.
"Kalau rumah hunian masih banyak yang pakai genteng. Tapi kalau pembangunan skala besar biasanya atap logam," jelas Faisol.
Baca juga: Pria di Kediri Dihajar Warga Usai Menjambret, Ternyata Dompet yang Dicuri Berisi Rp 4.000