Salin Artikel

Perjuangan Perajin Genteng Manyaran Kediri di Tengah Terpaan Zaman

Lokasinya berjarak sekitar 11 kilometer arah barat dari kantor Pemerintah Kabupaten Kediri.

Pada desa-desa yang terletak di wilayah pegunungan, mudah dijumpai warga yang menjemur aneka hasil kebun di halaman rumah mereka yang rata-rata cukup luas itu.

Yakni berupa biji kopi, cengkeh, coklat, hingga bunga Rosela.

Namun di Desa Manyaran, terutama Dusun Kradenan, ada pemandangan yang berbeda.

Pada lahan-lahan kosong yang tersiram langsung sinar matahari itu, warga memanfaatkannya untuk menjemur genteng.

Sebab, banyak warga di desa tersebut berprofesi sebagai perajin genteng, atau atap rumah yang terbuat dari tanah liat yang dicetak dan dibakar.

"Jumlah perajin genteng di Manyaran mencapai 107 perajin," ujar Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perdagangan dan Industri Pemerintah Kabupaten Kediri Roosana pada Kompas.com medio Juni 2022.

Bahkan saking banyaknya perajin, pemerintah daerah setempat menetapkan Manyaran sebagai salah satu wilayah penghasil produk unggulan, yaitu sentra home industri genteng.

Apalagi rata-rata tempat produksinya berada di pinggir jalan dan tidak ada penutup khusus sebagaimana umumnya pabrik, sehingga akan mudah terlihat.

Mata akan tertuju pada hamparan genteng yang tertata rapi.

Pada bagian bawahnya diberi alas terpal untuk melindungi dari debu atau kotoran yang berpotensi merusak permukaan genteng yang masih basah.

Tangan perajin sesekali membalik genteng itu agar masing-masing sisi mendapatkan cukup paparan sinar matahari.

"Mumpung cuaca cukup panas, Mas," ujar Saini (40), salah satu perajin yang tengah menjemur genteng dibantu Beni (20), anaknya.

Teriknya sinar matahari adalah berkah bagi para perajin. Sebab, asupan sinar yang cukup akan membentuk kualitas genting yang bagus dan otomatis mempercepat proses produksi.

Adapun musim penghujan adalah cobaan. Sebab genteng rawan kerusakan karena aktivitas bongkar pasang saat penjemuran.

"Kadang sehari karena panas kita jemur lalu tiba-tiba mendung ya kita tarik lagi. Lalu panas, ya mau enggak mau harus dikeluarkan lagi untuk dijemur. Kalau enggak hati-hati bisa banyak yang rusak," lanjut Saini.

Selain rawan kerusakan, musim penghujan juga membuat waktu produksi menjadi molor. Sehingga bisa berdampak pada penambahan biaya produksi.

Pemandangan lainnya yang tidak kalah mencolok adalah Lio atau bangunan tempat pembakaran genteng. Warga setempat menyebutnya Jubung atau Jobong.

Bangunan berbahan bata itu mirip rumah dengan dinding di setiap sisi dan atap bagian atasnya. Strukturnya bertingkat dua. Bagian bawah untuk tempat api pembakaran dan bagian atas tempat genteng yang dibakar.

Jika dilihat lebih dekat, pada struktur bawah nampak rongga besar untuk memasukkan kayu bakar. Juga rongga-rongga berukuran kecil di sekitarnya untuk ventilasi pembakaran.

Ada yang berbentuk kubus juga persegi panjang, tergantung kebutuhan kapasitas pembakaran.

Jubung yang mirip oven raksasa itu kadang terletak di samping, belakang, bahkan ada juga yang berada di depan rumah karena disesuaikan dengan kemudahan aksesnya.

Pemandangan selanjutnya, adalah tumpukan tanah liat sebagai bahan genteng, alat penggilingan hingga pencetakannya.

"Jadi cara buat genteng itu dari tanah liat yang digiling, dipres, dicetak, dijemur, kemudian dipanaskan dengan suhu tinggi melalui tempat pembakaran itu," ujar Agus Widodo (40), perajin lainnya.

Pembakaran itu adalah proses terakhir, sebelum genteng didistribusikan ke pelanggan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

"Jadi kalau penjemurannya enggak maksimal, kadar airnya masih tinggi, saat dibakar akan pecah. Semakin banyak yang pecah semakin merugi," lanjut Agus Widodo.

Agus Widodo misalnya, adalah generasi ketiga dari usaha genteng di lingkup keluarganya. Dia berdikari setelah ikut kerja Nohari (63), bapaknya.

Nohari sendiri, yang lebih sepuh, tidak mengetahui pasti kapan mulai ada produksi genteng di desanya. Hanya saja dia mengingat bahwa kisaran tahun 1985-an mulai ada modernisasi industri.

"Peralatan-peralatan yang dari kayu itu mulai berganti logam. Misalnya alat cetaknya," ungkap Nohari.

Dari situ, lanjut Nohari, produksi genteng di desanya semakin maju. Apalagi para perajin banyak mendapat berbagai pelatihan dari pemerintah maupun pihak swasta.

"Semua itu tak lepas dari jasa Pak Sahlan, yang memajukan industri genteng sini," lanjut Nohari yang merupakan anak Sahlan ini.

Bahkan dari Sahlan pula, di desa tersebut dulunya terbentuk koperasi perajin genteng. Dari koperasi itu jaminan pasar maupun jangkauan menjadi semakin luas.

Agus Widodo menambahkan, sentra industri mendapatkan kejayaan di era tahun 90-an sampai tahun 2000.

Saat itu, kata dia, seluruh genteng yang diproduksi warga desa hanya dilabeli atau cap M, yang merujuk Manyaran sebagai nama desa.

Saat itu pula, kata Widodo, jumlah perajin bertambah pesat mencapai 300 perajin. Otomatis banyak menyerap tenaga kerja yang tidak hanya dari desanya sendiri.

"Orang-orang luar desa pada datang ke sini. Dulu jadi jujukan orang mencari kerja," lanjut Widodo yang menamai Karya Indah untuk produk gentingnya ini.

Namun perkembangan desanya itu perlahan mengalami penurunan. Tidak sedikit perajin yang kolaps lalu menutup usaha.

Penutupan itu, Widodo menganalisa, terjadi karena beberapa faktor. Misalnya karena banyaknya generasi muda yang ogah bekerja di bidang industri genteng.

"Banyak generasi muda sini yang memilih bekerja di luaran sana. Padahal kalau ditekuni, hasil usaha genteng juga gak kalah," ujarnya.

Lalu faktor selanjutnya, masih kata Widodo, adalah susahnya mendapatkan tanah liat sebagai bahan baku genteng.

Bahan baku itu sendiri, kata Widodo, memang menggunakan tanah liat yang berasal dari desanya sendiri karena mempunyai kualitas bagus.

Namun saat ini semakin susah mendapatkannya karena lahan yang ada semakin menyempit seiring pertambahan penduduk.

"Apalagi kawasan Manyaran juga masuk dalam kawasan bandara. Jadi akan semakin susah mendapatkan bahan," ujarnya.

Selain itu berkurangnya jumlah perajin juga karena faktor persaingan usaha yang ketat.

Tidak hanya antar produsen genteng dari berbagai tempat, tetapi juga dengan atap logam maupun beton.

"Sekarang kan banyak masyarakat yang bangun rumah atapnya pakai atap lain, bukan genteng," ujar Widodo.

Perihal atap nongenting tanah liat itu, memang dirasa lebih terjangkau dari sisi harga sehingga bisa menghemat biaya.

"Sekaligus efisien dalam pemasangannya dan hemat ongkos tukang," ujar Faisol (23), pemilik toko bangunan di Cerme, Kecamatan Gringging ini.

Dia mencontohkan, satu meter persegi atap membutuhkan genteng sekitar 25 biji dengan harga kisaran @ Rp 2.500. Padahal untuk asbes ukuran 80x180 harganya cuma sekitar Rp 65.000 bahkan banyak yang lebih murah.

"Kalau rumah hunian masih banyak yang pakai genteng. Tapi kalau pembangunan skala besar biasanya atap logam," jelas Faisol.

"Enggak punya lahan pertanian, adanya cuma bikin genteng ini," ujar Agus Widodo.

Namun mereka sendiri juga tidak tahu pasti sampai kapan mampu bertahan.

Kondisi industri genteng yang seperti itu membuat perajin berharap adanya campur tangan langsung dari pemerintah untuk membantunya.

Meskipun bantuan itu nantinya bukan bantuan yang khusus dalam pengembangan industri genteng, setidaknya dalam bentuk lain.

"Misalnya anak-anak muda di sini diberi pelatihan apa gitu supaya mereka ini bisa berdaya," Nohari mengharap.

Bahkan dirinya juga siap jika nantinya wilayah tersebut dibuka menjadi kawasan wisata pendidikan.

Pemerintah Kabupaten Kediri telah mengetahui permasalahan yang tengah mendera perajin genteng tersebut.

Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kabupaten Kediri Roosana mengaku sudah melakukan penjajakan.

Salah satu temuannya adalah karena faktor harga. Harga jualnya lebih tinggi dibanding produk yang sama dari daerah lain sehingga kalah saing.

"Kelemahannya adalah bahan baku tidak ada di Kediri tapi mengambil dari daerah lain. Sehingga tidak bisa bersaing dengan (genteng dari wilayah) Tulungagung dari sisi harganya," ujar Roosa.

Oleh sebab itu penjajakan itu salah satunya untuk mencari jalan keluarnya. Apalagi daerah tersebut merupakan kawasan sekitar bandara yang masuk prioritas penanganan.

"Kita berfokus pada potensi unggulan daerah. Satu persatu ditata. Sebab kalau tidak fokus tidak kelihatan hasilnya," ujar Roosa tanpa menyebut model penataan itu.

Perihal persaingan dengan atap logam, kata Roosa, saat ini menjadi keniscayaan karena relatif lebih murah dan mudah pemasangannya.

Namun demikian, menurutnya, atap genteng tidak akan kalah apalagi punah karena telah mempunyai modal bertahan yang kuat dibandingkan atap logam.

"Tetapi industri ini tidak akan punah sebab tidak semua orang suka beratapkan logam karena panas," pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/06/23/170319978/perjuangan-perajin-genteng-manyaran-kediri-di-tengah-terpaan-zaman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke