Praktis, kincir angin rakitan Hanif dan kolega memanfaatkan barang bekas yang masih bisa dipakai. Hanya komponen generator atau dinamo, serta aki atau baterai, yang mereka bali.
“Untuk satu kuncir biayanya mungkin enggak sampai Rp 200.000, tapi itu tanpa dinamo dan aki,” beber Hanif.
Sejauh ini, Hanif dan kolega di SMA Bina Insan Mandiri Baron telah membuat delapan prototipe kincir angin. Masing-masing prototipe dikerjakan oleh satu tim yang terdiri dari 12 siswa.
Kedelapan prototipe kincir angin itu digarap Hanif bersama tim selama enam bulan terakhir ini.
“Saya diminta (pihak sekolah) untuk mengajarkan ke sebanyak mungkin anak-anak di sini (cara merakit kincir angin). Jadi satu proyek prototipe itu kira-kira 12 orang,” sebutnya.
Baca juga: Unair Kembangkan PLTA Kincir Angin, Kapasitas hingga 4.000 Watt
Adapun delapan prototipe kincir angin garapan Hanif dan tim antara satu dengan yang lain berbeda ukuran. Ada prototipe yang panjang baling-balingnya satu meter, namun juga ada yang hanya 60 sentimeter.
“Tapi rata-rata satu meteran tiap satu bilah baling-baling,” bebernya.
Berdasarkan uji coba yang pernah dilakukan Hanif, satu prototipe kincir angin garapannya dapat menghasilkan listrik 40 volt dengan 0,08 ampere.
“Kalau angka tertinggi pernah 12 volt, bisa menghasilkan 0,5 ampere,” tuturnya.
Sebelum memanfaatkan pipa PVC bekas sebagai baling-baling kincir, Hanif pernah mencoba memakai baling-baling plastik. Namun, karena kencangnya angin di Nganjuk, baling-baling plastik itu akhirnya patah.
Hanif lantas berinisiatif memanfaatkan pipa PVC bekas untuk baling-baling kincir. Upaya remaja asal Kota Surabaya ini mulai membuahkan hasil, hanya saja pipa PVC bekas itu tak bisa bertahan lama.
Sebab, kecepatan angin di Nganjuk tidak stabil. Pada momen tertentu kecepatan angin di wilayah ini tak begitu kencang, namun pada musim kemarau seperti saat ini, embusan anginnya sangat terasa.
Merujuk data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kecepatan angin di Nganjuk berkisar antara 10 kilometer per jam hingga 30 kilometer per jam.
Hal itulah juga yang membuat Nganjuk kerap dijuluki Kota Bayu atau Kota Angin.
“Karena angin yang begitu kencang beberapa prototipe itu enggak tahan sampai lebih dari satu bulan,” ungkapnya.