Kerusakan pendengaran sering kali tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan yang bisa dikenali.
Baca juga: Bupati Pasuruan Tetap Batasi Sound Horeg pada Karnaval
Gejala awal yang harus diwaspadai antara lain, telinga terasa penuh atau tersumbat.
Sensasi ini menandakan telinga sedang berada di bawah tekanan.
Kemudian, Tinnitus (Telinga Berdenging) atau munculnya suara denging atau desis yang persisten.
"Kondisi ini disebut temporary threshold shift atau pergeseran ambang dengar sementara. Jika paparan terus berlanjut, kondisi ini akan menjadi permanen dan berkembang menjadi hearing loss (tuli) dengan berbagai tingkatan, dari ringan hingga sangat berat," papar dia.
Baca juga: Karnaval Sound Horeg di Kota Batu Langgar Kesepakatan, Digelar hingga Dini Hari
Dampak dari kehilangan pendengaran tidak hanya sebatas masalah fisik (problem hearing), tetapi juga memicu masalah non-fisik (non-hearing problem).
Seperti kesulitan berkomunikasi, mudah marah (uring-uringan), hingga isolasi sosial akibat menurunnya kualitas interaksi.
Meskipun berbahaya bagi semua orang, beberapa kelompok memiliki risiko lebih tinggi, di antaranya, bayi dan anak-anak.
Menurutnya, musik dapat meredakan stres, tetapi ketika sebuah tren dianggap sebagai budaya atau milik bersama, aspek bahayanya sering kali diabaikan.
"Muncul perasaan bahwa ini adalah budaya kita yang harus dilestarikan. Pemahaman keliru inilah yang membuat masyarakat menormalisasi bahaya yang sangat besar," katanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang