Namun, di balik kemeriahannya, tersimpan ancaman serius bagi kesehatan pendengaran.
Dokter spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB), dr. Meyrna Heryaning Putri menyampaikan, paparan suara ekstrem ini dapat menyebabkan kerusakan telinga yang tidak bisa dipulihkan.
Telinga manusia memiliki mekanisme pertahanan yang terbatas.
Menurut Meyrna, batas aman paparan suara yang bisa ditoleransi adalah 85 desibel (dB) selama maksimal 8 jam per hari.
Melebihi ambang batas ini, risiko kerusakan meningkat secara eksponensial.
"Prinsipnya sangat jelas, semakin tinggi intensitas suara, semakin pendek durasi aman untuk mendengarkannya," kata Meyrna, Jumat (25/7/2025).
Ia memberikan ilustrasi sederhana, yakni kenaikan 88 db maka toleransinya 4 jam, di 91 db maka toleransinya hanya 2 jam.
Sementara itu, suara yang dihasilkan sound horeg dapat dengan mudah mencapai 130 dB.
Pada level 140 dB, kerusakan telinga dapat terjadi secara instan dan fatal.
"Dalam hitungan detik, suara 140 dB tidak hanya merusak saraf pendengaran, tetapi berpotensi menghancurkan struktur fisik telinga, seperti merobek gendang telinga dan merontokkan tulang-tulang pendengaran," jelasnya.
Paparan bising yang berlebihan secara langsung menyerang koklea (rumah siput), sebuah organ vital di telinga dalam.
Di dalam koklea, terdapat ribuan sel rambut halus yang berfungsi mengubah getaran suara menjadi sinyal listrik untuk dikirim ke otak.
Suara yang terlalu keras dapat merusak dan mematikan sel-sel rambut ini secara permanen.
Karena tubuh tidak dapat meregenerasi sel tersebut, kerusakan yang terjadi bersifat tetap.
Kerusakan pendengaran sering kali tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan yang bisa dikenali.
Gejala awal yang harus diwaspadai antara lain, telinga terasa penuh atau tersumbat.
Sensasi ini menandakan telinga sedang berada di bawah tekanan.
Kemudian, Tinnitus (Telinga Berdenging) atau munculnya suara denging atau desis yang persisten.
"Kondisi ini disebut temporary threshold shift atau pergeseran ambang dengar sementara. Jika paparan terus berlanjut, kondisi ini akan menjadi permanen dan berkembang menjadi hearing loss (tuli) dengan berbagai tingkatan, dari ringan hingga sangat berat," papar dia.
Dampak dari kehilangan pendengaran tidak hanya sebatas masalah fisik (problem hearing), tetapi juga memicu masalah non-fisik (non-hearing problem).
Seperti kesulitan berkomunikasi, mudah marah (uring-uringan), hingga isolasi sosial akibat menurunnya kualitas interaksi.
Meskipun berbahaya bagi semua orang, beberapa kelompok memiliki risiko lebih tinggi, di antaranya, bayi dan anak-anak.
Menurutnya, musik dapat meredakan stres, tetapi ketika sebuah tren dianggap sebagai budaya atau milik bersama, aspek bahayanya sering kali diabaikan.
"Muncul perasaan bahwa ini adalah budaya kita yang harus dilestarikan. Pemahaman keliru inilah yang membuat masyarakat menormalisasi bahaya yang sangat besar," katanya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/07/25/180454178/dokter-spesialis-tht-dari-ub-soal-sound-horeg-waspada-ancaman-tuli-permanen