Namun, ia tidak bisa bercerita banyak tentang apa yang dialami sehingga mendapat luka lebam hingga patah tulang.
Sebab, saat asap gas air mata menyelimuti tribune, ia langsung pingsan di tengah kerumunan pendukung lain yang kebingungan mencari jalan keluar.
"Saya hanya ingat sebelum pingsan, mata saya perih. Saya tidak menyangka kalau itu akibat gas air mata. Justru saya kira asap yang menyelimuti itu adalah flare," ujarnya.
Aan menduga luka yang didapatnya karena terinjak-injak pendukung lain yang kebingungan mencari jalan keluar.
"Saya baru sadar ketika sudah berada di UGD Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanjuruhan, sekitar pukul 03.00 dini hari, tanpa saya tahu siapa yang telah menolong saya," jelasnya.
Setelah sadar itu, ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi keluarga di rumah.
"Setelah menjalani pemeriksaan selama sehari, saya sudah diperbolehkan pulang, sambil rawat jalan. Akhirnya saya di rumah hanya dirawat keluarga, sambil beberapa hari sekali kontrol ke rumah sakit," pungkasnya.
Sementara itu, ibu Aan, Dewi Fitri mengatakan saat tragedi Kanjuruhan itu pecah pada sekitar pukul 23.00 WIB, pihaknya tidak tahu dan sudah tidur di rumah.
"Saya baru bangun sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Melihat anak saya belum pulang, dan melihat sosial media sudah banyak status tentang tragedi itu, saya langsung membangunkan suami saya dan keluarga sekitar," ungkapnya.
Dewi mengajak suami dan saudaranya mencari keberadaan Aan. Pikiran dan hatinya pun sudah tidak menentu.
"Setiap rumah sakit di wilayah sini, termasuk RSUD Kanjuruhan sudah kami hampiri untuk mencari anak saya. Tapi tidak ketemu," jelasnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.