"Desain kota tidak hanya harus menyenangkan secara estetika, tapi juga bermanfaat secara fungsional dan psikologis. Kita harus menjadikan manusia sebagai orientasi desain," jelasnya.
Menurut Jenny, pemerintah daerah selama ini cenderung membangun berdasarkan standar fisik tanpa riset mendalam mengenai apa yang sebenarnya diinginkan dan dirasakan oleh warganya. Padahal, preferensi masyarakat bisa sangat berbeda.
"Contoh sederhana, di luar negeri trotoar tanpa pohon mungkin tidak masalah karena mereka hanya merasakan panas beberapa bulan. Di Indonesia, masyarakat lebih senang berjalan di jalanan yang teduh. Kemudian lebar ruang bagi pejalan kakinya juga. Hal-hal seperti ini yang harus dipikirkan juga," paparnya.
Dimensi subyektif lainnya yang krusial adalah keamanan dan kenyamanan. Rasa aman dari kecelakaan lalu lintas dan tindak kriminalitas menjadi penentu utama apakah warga mau berjalan kaki atau tidak.
Baca juga: Kerangka Manusia Ditemukan di Lahan Kosong Kota Malang, Diduga Pria yang Hilang Sejak April
Model RATAP menekankan pentingnya menciptakan barrier seperti vegetasi antara pejalan kaki dan kendaraan, serta desain trotoar yang tidak terlalu padat namun juga tidak sepi untuk menciptakan rasa aman secara psikologis.
"Jadi artinya bagaimana caranya kita membuat kota-kota itu tidak hanya berorientasi ke kendaraan bermotor. Nah, kita harus membuat terobosan supaya bagaimana caranya kita mengikuti tren seperti di negara-negara lain untuk kita mendesain kota-kota itu menjadi walkable," ungkapnya.
Jenny menyoroti kawasan Kayutangan sebagai pionir penataan area pedestrian di Mota Malang. Namun, ia menilai kawasan tersebut baru berhasil menghidupkan aktivitas sosial seperti tempat berkumpul dan kuliner, tetapi belum optimal dalam mendorong aktivitas fisik.
"Orang datang ke sana untuk duduk-duduk dan makan, bukan untuk berjalan. Tantangannya adalah bagaimana membuat area seperti itu bisa menarik orang untuk bergerak," ujarnya.
Ia berharap kajian dan Model RATAP yang ia gagas dapat menjadi masukan strategis bagi Pemerintah Kota Malang dan pemerintah daerah lainnya.
Ia mendesak agar setiap proyek pembangunan ruang publik diawali dengan studi mendalam mengenai kebutuhan dan budaya masyarakat setempat.
"Jangan langsung membangun. Lakukan dulu studi, tanyakan pada masyarakat apa yang mereka inginkan dan rasakan. Dengan begitu, kota yang dibangun tidak hanya fungsional, tetapi juga mampu membuat warganya lebih sehat, bahagia, dan tidak stres," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang