MALANG, KOMPAS.com - Kondisi tata ruang di Kota Malang, Jawa Timur, dinilai belum ramah bagi pejalan kaki. Hal ini tidak hanya mengurangi kenyamanan, tetapi juga berpotensi memicu berbagai penyakit kronis di masyarakat akibat rendahnya aktivitas fisik.
Hal ini disampaikan oleh Jenny Ernawati yang akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Rancang Kota dari Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (UB) pada Kamis (21/8/2025) besok.
Menurutnya, orientasi pembangunan kota yang selama ini terlalu fokus peruntukannya pada kendaraan bermotor sehingga membuat pejalan kaki terpinggirkan.
Baca juga: Cerita Pengusaha Kuliner di Kota Malang, Ngaku Raup Untung Jalankan Dapur MBG
"Kalau kita mencoba berjalan kaki di Malang, kita akan merasa seperti orang yang paling sengsara. Harusnya berjalan kaki itu sehat, tetapi rancang kotanya belum bisa mewadahi itu," kata Jenny pada Rabu (20/8/2025).
Ia memaparkan data WHO dan penelitian global menunjukkan bahwa gaya hidup modern yang minim gerak (sedentary living) menyumbang 20-30 persen kematian akibat penyakit tidak menular di seluruh dunia.
Baca juga: Kerangka Manusia Ditemukan di Lahan Kosong Kota Malang, Diduga Pria yang Hilang Sejak April
"Artinya itu jangan sampai kita masuk ke seperti itu. Jadi bagaimana caranya meng-encourage orang, menarik orang untuk mau berjalan kaki," katanya.
Menurutnya, jika tidak ada terobosan dalam desain kota, masyarakat akan semakin terjebak dalam rutinitas rumah dan kantor atau rumah dan sekolah tanpa ruang untuk beraktivitas fisik yang memadai, sehingga meningkatkan risiko stres dan gangguan kesehatan mental.
"Karena kita tahu sendiri, di kita sekarang kan angka bunuh diri cukup tinggi. Ya, anak muda itu misalnya, ya itu mungkin akan agak jenuh kalau seperti itu tadi. Nah, harapannya dengan kita bisa membuat, melalui rancang kota, kita bisa berkontribusi," katanya.
"Ya, berkontribusi dengan melalui desain lingkungan fisik itu bisa menarik orang untuk banyak beraktivitas secara fisik. Sehingga nanti kan mereka juga akan meningkatkan kesehatannya, kesehatan masyarakat, dan juga kesehatan mentalnya tentu saja," sambungnya.
Menjawab permasalahan tersebut, Jenny menawarkan sebuah model akademis bernama RATAP atau Model Rancang Kota Ramah Pejalan Kaki. Pendekatan hasil kajiannya memadukan dimensi obyektif seperti infrastruktur fisik dengan dimensi subyektif seperti persepsi, preferensi, dan budaya masyarakat.
Ilustrasi kota Malang, kampus terbaik di MalangMenurut Jenny, pemerintah daerah selama ini cenderung membangun berdasarkan standar fisik tanpa riset mendalam mengenai apa yang sebenarnya diinginkan dan dirasakan oleh warganya. Padahal, preferensi masyarakat bisa sangat berbeda.
"Contoh sederhana, di luar negeri trotoar tanpa pohon mungkin tidak masalah karena mereka hanya merasakan panas beberapa bulan. Di Indonesia, masyarakat lebih senang berjalan di jalanan yang teduh. Kemudian lebar ruang bagi pejalan kakinya juga. Hal-hal seperti ini yang harus dipikirkan juga," paparnya.
Dimensi subyektif lainnya yang krusial adalah keamanan dan kenyamanan. Rasa aman dari kecelakaan lalu lintas dan tindak kriminalitas menjadi penentu utama apakah warga mau berjalan kaki atau tidak.
Baca juga: Kerangka Manusia Ditemukan di Lahan Kosong Kota Malang, Diduga Pria yang Hilang Sejak April
Model RATAP menekankan pentingnya menciptakan barrier seperti vegetasi antara pejalan kaki dan kendaraan, serta desain trotoar yang tidak terlalu padat namun juga tidak sepi untuk menciptakan rasa aman secara psikologis.
"Jadi artinya bagaimana caranya kita membuat kota-kota itu tidak hanya berorientasi ke kendaraan bermotor. Nah, kita harus membuat terobosan supaya bagaimana caranya kita mengikuti tren seperti di negara-negara lain untuk kita mendesain kota-kota itu menjadi walkable," ungkapnya.
Jenny menyoroti kawasan Kayutangan sebagai pionir penataan area pedestrian di Mota Malang. Namun, ia menilai kawasan tersebut baru berhasil menghidupkan aktivitas sosial seperti tempat berkumpul dan kuliner, tetapi belum optimal dalam mendorong aktivitas fisik.
"Orang datang ke sana untuk duduk-duduk dan makan, bukan untuk berjalan. Tantangannya adalah bagaimana membuat area seperti itu bisa menarik orang untuk bergerak," ujarnya.
Ia berharap kajian dan Model RATAP yang ia gagas dapat menjadi masukan strategis bagi Pemerintah Kota Malang dan pemerintah daerah lainnya.
Ia mendesak agar setiap proyek pembangunan ruang publik diawali dengan studi mendalam mengenai kebutuhan dan budaya masyarakat setempat.
"Jangan langsung membangun. Lakukan dulu studi, tanyakan pada masyarakat apa yang mereka inginkan dan rasakan. Dengan begitu, kota yang dibangun tidak hanya fungsional, tetapi juga mampu membuat warganya lebih sehat, bahagia, dan tidak stres," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang