BLITAR, KOMPAS.com – Lebih dari 100 truk pengangkut pasir menutup jalan raya di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan sopir pada Jumat (4/7/2025) pagi.
Mereka menolak pendirian pos pemeriksaan hasil tambang oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Blitar.
Sebanyak 10 pos yang berlokasi di jalur keluar dan masuk truk pengangkut tambang mineral bukan logam dan batuan (MBLB) mulai beroperasi pada 1 Juli 2025.
Pos-pos ini bertujuan memastikan nilai pajak yang dibayarkan penambang sesuai dengan volume hasil tambang yang diangkut keluar dari area tambang.
Baca juga: Blokir Jalan pada Demo ODOL di Blitar, Polisi Tangkap 10 Sopir Truk karena Konsumsi Miras dan Sabu
Selama tiga hari pertama operasional, banyak truk pengangkut pasir terpaksa tertahan di pos-pos tersebut karena sopir tidak dapat menunjukkan surat tanda pengambilan (STP) tambang yang telah dibagikan sebelumnya oleh Bapenda kepada penambang sebagai wajib pajak.
Aksi unjuk rasa yang menyebabkan penutupan total jalur tersebut berakhir setelah tercapai kesepakatan antara koordinator aksi, pihak kepolisian, dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar.
Kepala Bapenda Kabupaten Blitar, Asmaning Ayu, menegaskan bahwa pihaknya akan tetap mengoperasikan pos-pos pantau pengangkutan tambang, meskipun mengakui perlunya edukasi kepada para penambang.
“Tetap kami lanjutkan karena ini langkah baru. Dinamika awal memang lumrah (ada penolakan). Ke depan tetap kami lakukan, tapi dengan mengedepankan sosialisasi, edukasi kepada masyarakat,” ujar Ayu saat ditemui awak media, Jumat sore.
Ayu menjelaskan bahwa masalah di lapangan muncul karena banyak penambang yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak sehingga tidak memiliki STP.
STP diberikan kepada penambang legal bersamaan dengan pembayaran deposit dana sesuai estimasi volume pengambilan hasil tambang setiap bulannya.
Baca juga: Truk Diparkir Menyilang Saat Demo Regulasi ODOL Picu Kemacetan di Perbatasan Blitar-Malang
“Berapa lembar STP yang diambil oleh penambang itu bergantung pada estimasi volume hasil tambang yang akan diambil oleh penambang setiap bulannya,” tambahnya.
Ayu mengakui bahwa penambang rakyat di lokasi penambangan pasir dan batu praktis tidak memiliki STP untuk diberikan kepada sopir truk yang mengangkut hasil tambang mereka.
Hal ini menjadi kendala yang memicu aksi unjuk rasa tersebut.
Ayu mendorong para penambang rakyat membentuk paguyuban atau kelompok agar dapat terdaftar sebagai wajib pajak dan mendapatkan STP.
“Hari Senin nanti koordinator penambang akan datang ke kami membicarakan masalah ini,” ungkapnya.