Mereka menolak pendirian pos pemeriksaan hasil tambang oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Blitar.
Sebanyak 10 pos yang berlokasi di jalur keluar dan masuk truk pengangkut tambang mineral bukan logam dan batuan (MBLB) mulai beroperasi pada 1 Juli 2025.
Pos-pos ini bertujuan memastikan nilai pajak yang dibayarkan penambang sesuai dengan volume hasil tambang yang diangkut keluar dari area tambang.
Selama tiga hari pertama operasional, banyak truk pengangkut pasir terpaksa tertahan di pos-pos tersebut karena sopir tidak dapat menunjukkan surat tanda pengambilan (STP) tambang yang telah dibagikan sebelumnya oleh Bapenda kepada penambang sebagai wajib pajak.
Aksi unjuk rasa yang menyebabkan penutupan total jalur tersebut berakhir setelah tercapai kesepakatan antara koordinator aksi, pihak kepolisian, dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar.
Kepala Bapenda Kabupaten Blitar, Asmaning Ayu, menegaskan bahwa pihaknya akan tetap mengoperasikan pos-pos pantau pengangkutan tambang, meskipun mengakui perlunya edukasi kepada para penambang.
“Tetap kami lanjutkan karena ini langkah baru. Dinamika awal memang lumrah (ada penolakan). Ke depan tetap kami lakukan, tapi dengan mengedepankan sosialisasi, edukasi kepada masyarakat,” ujar Ayu saat ditemui awak media, Jumat sore.
Ayu menjelaskan bahwa masalah di lapangan muncul karena banyak penambang yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak sehingga tidak memiliki STP.
STP diberikan kepada penambang legal bersamaan dengan pembayaran deposit dana sesuai estimasi volume pengambilan hasil tambang setiap bulannya.
“Berapa lembar STP yang diambil oleh penambang itu bergantung pada estimasi volume hasil tambang yang akan diambil oleh penambang setiap bulannya,” tambahnya.
Ayu mengakui bahwa penambang rakyat di lokasi penambangan pasir dan batu praktis tidak memiliki STP untuk diberikan kepada sopir truk yang mengangkut hasil tambang mereka.
Hal ini menjadi kendala yang memicu aksi unjuk rasa tersebut.
Ayu mendorong para penambang rakyat membentuk paguyuban atau kelompok agar dapat terdaftar sebagai wajib pajak dan mendapatkan STP.
“Hari Senin nanti koordinator penambang akan datang ke kami membicarakan masalah ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ayu menyatakan bahwa pendirian pos-pos pengecekan pengangkutan hasil tambang merupakan upaya Pemkab Blitar mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak tambang.
“Karena selama ini pembayaran pajak MBLB didasarkan pada laporan wajib pajak itu sendiri, self-assessment. Jadi kita hanya percaya saja,” tuturnya.
“Nah, tata kelola baru ini untuk memastikan kesesuaian antara berapa sumber daya alam yang diambil dan berapa pajak yang dibayarkan,” imbuhnya.
Ayu menargetkan penerimaan PAD dari pajak MBLB senilai Rp 600 juta untuk tahun 2025 dan yakin target tersebut akan terlampaui.
“Apalagi di Kabupaten Blitar ini kaya sumber daya alam. Di utara ada Gunung Kelud (penghasil pasir) dan di selatan ada clay, kapur, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Berdasarkan regulasi yang ada, setiap truk pengangkut pasir dikenakan pajak MBLB sebesar Rp 24.000 untuk sekali jalan, dan Rp 9.000 untuk truk pengangkut batu grosok.
Dihubungi terpisah, Kepala Unit Pidana Ekonomi pada Satreskrim Polres Blitar Kota, Ipda Yuno Sukaito, menjelaskan bahwa aksi unjuk rasa dipicu kesalahpahaman para sopir truk tambang pasir mengenai kebijakan Pemkab Blitar.
Para sopir truk, kata dia, menyangka dengan adanya pos-pos pengecekan dari Bapenda akan menambah lagi beban pungutan yang harus mereka bayarkan.
“Padahal pajak atau retribusi itu tanggung jawab penambang, bukan sopir truk,” ujarnya kepada Kompas.com melalui sambungan telepon.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/07/04/200740578/didemo-sopir-truk-pemkab-blitar-tetap-lanjutkan-operasi-pos-pengecekan