Lebih lanjut, Ayu menyatakan bahwa pendirian pos-pos pengecekan pengangkutan hasil tambang merupakan upaya Pemkab Blitar mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak tambang.
“Karena selama ini pembayaran pajak MBLB didasarkan pada laporan wajib pajak itu sendiri, self-assessment. Jadi kita hanya percaya saja,” tuturnya.
“Nah, tata kelola baru ini untuk memastikan kesesuaian antara berapa sumber daya alam yang diambil dan berapa pajak yang dibayarkan,” imbuhnya.
Ayu menargetkan penerimaan PAD dari pajak MBLB senilai Rp 600 juta untuk tahun 2025 dan yakin target tersebut akan terlampaui.
“Apalagi di Kabupaten Blitar ini kaya sumber daya alam. Di utara ada Gunung Kelud (penghasil pasir) dan di selatan ada clay, kapur, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Baca juga: Sopir Truk Pasir di Blitar Tewas Tergencet di antara Truk Pengangkut Plastik dan Tebu
Berdasarkan regulasi yang ada, setiap truk pengangkut pasir dikenakan pajak MBLB sebesar Rp 24.000 untuk sekali jalan, dan Rp 9.000 untuk truk pengangkut batu grosok.
Dihubungi terpisah, Kepala Unit Pidana Ekonomi pada Satreskrim Polres Blitar Kota, Ipda Yuno Sukaito, menjelaskan bahwa aksi unjuk rasa dipicu kesalahpahaman para sopir truk tambang pasir mengenai kebijakan Pemkab Blitar.
Para sopir truk, kata dia, menyangka dengan adanya pos-pos pengecekan dari Bapenda akan menambah lagi beban pungutan yang harus mereka bayarkan.
“Padahal pajak atau retribusi itu tanggung jawab penambang, bukan sopir truk,” ujarnya kepada Kompas.com melalui sambungan telepon.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang