“Keempat faktor tersebut yang menurut saya pinjol ini akan tetap menjadi pilihan masyarakat, apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi seperti saat ini,” tuturnya.
Terutamanya perempuan yang seringkali terjebak ke dalam pinjol karena lebih mudah untuk terpikat pada penawaran-penawaran yang ada sehingga mendorong untuk melakukan pembelian kebutuhan-kebutuhan sekunder.
Baca juga: Cerita Perempuan Terjerat Pinjol, Korban Butuh Teman dan Lingkungan Baru yang Sehat
Seperti keinginan tampil cantik, gaya hidup mewah, dan lain sebagainya yang semakin meningkatkan keinginan untuk melakukan pinjol.
“Apalagi sekarang ada satu model terbaru yakni paylater yang sebenarnya tanpa kita sadari itu juga bentuk pinjol. Kalau kita mau beli barang dibayarnya nanti, itu juga menjadikan lebih banyak perempuan yang mengakses pinjol,” jelasnya.
Rata-rata perempuan yang menjadi korban pinjol berada di usia produktif dengan latar belakang pendidikan SMA yang belum memiliki penghasilan tetap.
“Padahal dampak pinjol ini bisa berkepanjangan, yang dikhawatirkan adalah ke depannya anak-anak ini tidak bisa mengakses ke lembaga keuangan resmi, contohnya mau beli rumah, karena mereka sudah masuk ke dalam daftar hitam,” terangnya.
Baca juga: Alasan Mengapa Perempuan Lebih Rentan Terjebak Pinjol, Ingin Tampil Cantik dan Mewah
Menurutnya, alasan perempuan lebih tertarik pinjol dibandingkan pinjaman bank adalah karena bisa diambil dalam nominal yang kecil dan tidak membutuhkan jaminan.
Terlebih lagi, biasanya para korban membutuhkan pinjaman sesegera mungkin, tanpa memikirkan besaran bunga yang didapat.
“Contohnya ada orang mau buka usaha, dia butuh modal sekitar Rp 2 juta secepatnya, dia tidak peduli bunganya karena margin yang didapat besar dari hasil jualan itu, sedangkan kalau pinjam ke bank minimal Rp 50 juta, harus ada jaminan, dan usahanya disurvei dulu,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang