SURABAYA, KOMPAS.com - Pinjaman online (pinjol) memang akhir-akhir ini menjadi suatu tren tersendiri karena berbagai kemudahan dan keuntungan yang ditawarkannya.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, tingkat penyaluran pinjaman lebih banyak dilakukan oleh nasabah perempuan.
Dengan jarak penyaluran pinjaman antara perempuan dan laki-laki yang melebar dari 52,3 persen menjadi 54,8 persen.
Hal ini mengindikasikan adanya kerentanan perempuan untuk terpaksa mengambil pinjol.
Baca juga: Kisah Mahasiswi yang Terjerat Pinjol, Berawal dari Penipuan dan Nyaris Gadaikan Motor
Guru besar Investasi dan Keuangan Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Imron Mawardi, S. P., M.Si memaparkan, ada beberapa faktor yang menjadi pendorong perempuan lebih rentan terjebak dalam pinjol, dibandingkan laki-laki.
Menurutnya, adanya kecenderungan perempuan yang lebih emosional dibandingkan laki-laki.
Sehingga lebih mudah untuk terpikat pada penawaran-penawaran yang ada.
Hal ini juga mendorong perempuan untuk melakukan pembelian kebutuhan-kebutuhan sekunder.
Seperti keinginan tampil cantik, gaya hidup mewah, dan lain sebagainya sehingga semakin meningkatkan keinginan untuk melakukan pinjol.
“Apalagi sekarang ada satu model terbaru yakni paylatter yang sebenarnya tanpa kita sadari itu juga bentuk pinjol. Kalau kita mau beli barang dibayarnya nanti, itu juga menjadikan lebih banyak perempuan yang mengakses pinjol,” kata Imron, Jumat (18/4/2025).
Baca juga: Cerita Perempuan Terjerat Pinjol, Korban Butuh Teman dan Lingkungan Baru yang Sehat
Selain itu, meningkatnya jumlah populasi perempuan yang menjadi kepala rumah tangga juga menjadi sebab pendorong untuk melakukan pinjol demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Sementara, kalau melihat data pekerja formal di Indonesia, jumlah laki-laki masih lebih tinggi daripada perempuan.
"Artinya banyak perempuan menjadi kepala keluarga hanya sebagai pekerja informal yang tidak punya kepastian pendapatan, akhirnya mengakses ke pinjol,” ujar dia.
Rata-rata perempuan yang menjadi korban pinjol berada di usia produktif dengan latar belakang pendidikan SMA yang belum memiliki penghasilan tetap.
Padahal dampak pinjol ini bisa berkepanjangan, yang dikhawatirkan adalah kedepannya anak-anak ini gak bisa mengakses ke lembaga keuangan resmi.