“Saya juga tanya Pak Lurah, 'kok bisa ada anak yang berkebutuhan khusus'. Dia bilang, 'saya tidak tahu karena itu dari RT lama, seharusnya RT lama yang lapor ke Dinas Sosial atau Puskesmas',“ tuturnya.
Sosiolog bidang Gender, Disabilitas dan Kebijakan Sosial dari UGM, Fina Itriyanti, mengungkapkan bahwa posisi Siti di masyarakat tempat ia tinggal sangat rentan karena kondisinya sebagai ibu tunggal dan memiliki putra dengan disabilitas.
Kalaupun ada warga yang berusaha menjangkaunya dan menawarkan bantuan, ia dapat dengan mudah merasa minder. Sehingga, hal ini dapat membuatnya terkesan tertutup.
“Karena mungkin dia secara sosial ekonomi di bawah yang lain dan punya anak penyandang disabilitas, tentu saja ada stigma tertentu sehingga kemudian ada rasa inferior untuk aktif menjadi bagian dari warga di situ,“ kata Fina.
Baca juga: Kisah Sabiq, Disabilitas yang Mengajar Mengaji 100-an Anak di Salatiga
Fina mengatakan bahwa individu-individu seperti Siti dan Daniel seringkali menjadi “tak kasat mata” karena mereka sulit menemukan rasa diterima di komunitas mereka. Salah satu alasan terbesar adalah stigma negatif yang masih dimiliki masyarakat di daerah pedesaan.
“Mereka dianggap polutan di masyarakat yang rural karena stigma itu dibungkus dalam mitos yang membuat mereka semakin enggan untuk bergaul dengan penyandang disabilitas,“ ujarnya.
Sosiolog dari Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, mengatakan bahwa kondisi yang terjadi pada Siti dan putranya Daniel, membuktikan bahwa masyarakat semakin tidak peka dengan kehidupan atau kondisi orang-orang yang tinggal di sekitar mereka.
“Kalau orang lewat dan tidak merasa ada kelainan, saya kira suatu kelalaian ini karena ketidakpekaan masyarakat kita. Ini suatu permasalahan yang serius sekarang ini,” ujar Hotman kepada BBC News Indonesia pada Selasa (26/03).
Baca juga: Peduli Anak Disabilitas, Kapolres Manggarai Timur Serahkan Kursi Roda untuk Vitoria Eping
Sistem dasawisma merupakan kelompok yang terdiri dari 11 sampai 20 rumah dalam suatu komunitas.
Tugas para kader Dasawisma adalah untuk memantau sekaligus membantu mengantisipasi timbulnya penyakit yang membahayakan keluarga, terutama anak.
“Mungkin itu sudah tidak jalan. Kalau kita mengarahkan ke Dinas Sosial, mereka menunggu laporan. Mereka tidak punya aparat turun untuk setiap hari memantau kehidupan masyarakat,” ujar Hotman.
Ainur Rofiq mengatakan bahwa ia baru mulai menjabat sebagai ketua RT setidaknya satu bulan yang lalu. Saat menerima jabatan, ia pun tidak diberitahu tentang kondisi Siti maupun Daniel, putranya yang berkebutuhan khusus.
Baca juga: Cerita Kedai Tuli yang Dikelola Para Penyandang Disabilitas Tunarungu di Gorontalo...
Meskipun ia sendiri tidak secara langsung mengenal Siti, ia mengatakan bahwa warga di sekitar perumahan itu sangat peduli dengan Siti dan putranya.
“Saat almarhum sakit pun beliau sampai menawarkan diri untuk dimintai tolong berobat dan mengingatkan yang bersangkutan kalau nanti ada apa-apa untuk menghubungi tetangga.
“Artinya, sebenarnya tetangga-tetangga di sini sangat peduli dengan beliau. Kalau kami selaku RT terus terang saja yang bersangkutan dengan kami belum pernah berkomunikasi,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.