Salin Artikel

Stigma Ganda Ibu Tunggal di Balik Kisah Pemuda Autis Sendirian Temani Jasad Ibunda Berhari-hari

Daniel Agus, 32 tahun, anak berkebutuhan khusus itu, menurut saksi mata, berbaring persis di sebelah ibunya, Siti Komariah, 64 tahun, di salah-satu kamar di rumahnya.

Keterangan polisi menyebutkan sang ibu diperkirakan sudah meninggal empat atau lima hari sebelumnya. Almarhumah dikenal sebagai penjual sayuran di pasar setempat.

Sebagian tetangganya di kampung Singotrunan, Banyuwangi, tidak mengetahui Siti meninggal dunia sampai ketika mereka mencium bau tidak sedap dari rumahnya, beberapa hari kemudian.

Ahli sosiologi bidang gender, disabilitas dan kebijakan sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fina Itriyanti, mengungkapkan bahwa kasus kematian Siti merepresentasikan kondisi “sangat ekstrem“ di tengah masyarakat.

Sebab, Siti adalah ibu tunggal yang bekerja untuk menghidupi putranya yang berkebutuhan khusus. Hal ini membuatnya mengalami “stigma ganda“ yang dapat membuat warga lain enggan bersosialisasi dengannya.

“Jadi kasus ini justru membongkar kesenjangan sosial atau ketidakadilan yang begitu ekstrem dan terpampang begitu nyata, dengan adanya kematian ibu ini,” ujar Fina.

Di sisi lain, ketua RT setempat, Ainur Rofiq, mengaku bahwa warga sekitar “sangat peduli” terhadap Siti dan Daniel dan sempat menawarkan bantuan kepada ibu dan anak tersebut.

Namun, ia juga mengatakan bahwa Siti memiliki kecenderungan bersikap tertutup dan kurang berinteraksi dengan para tetangga

“Selama yang saya alami tidak pernah, dan beliau jarang sekali bercerita terkait bapaknya atau kehidupan pribadinya,” ungkap Rofiq kepada wartawan Alvina NA, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Selasa (26/03).

Sementara, salah satu tetangga yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia pun belum pernah bertemu dengan putra Siti, Daniel. Namun, ia mendengar tentang kondisi Daniel yang sulit berbicara dan sering menangis dan berteriak dari tetangga lain.

“Makanya dikira di dalam memang bersama ibunya, karena anak ini menangis terus dan tetangga-tetangga tidak curiga. Begitu sudah tiga hari ada orang yang biasa bersihkan rumah di situ, ditelepon enggak jawab dan sudah tidak ke pasar,” ujarnya.

Selama beberapa hari, warga tersebut berusaha menghubungi ponsel Siti namun tidak pernah mendapatkan balasan.

“Pada Minggu (24/03) pagi, yang bersangkutan datang ke kediaman almarhumah untuk mengecek. Pada saat itu ada aroma kurang baik atau tidak baik. Akhirnya pelapor pergi ke depan rumah, dia ingin masuk ke dalam karena tidak terdengar suara putra yang menangis itu,” kata Rofiq.

Rofiq mengatakan bahwa tetangga sekitar sudah terbiasa mendengar suara teriakan dan tangisan putra Siti, Daniel Agus, sehingga mereka tidak curiga ketika mendengar Daniel menangis dalam empat hari terakhir.

“Kita tambah curiga akan adanya bau itu, sehingga pintunya kami buka paksa atau didobrak."

"Yang bersangkutan dan putranya itu ada di tempat tidur, bersebelahan dan yang almarhum posisinya sudah dalam keadaan meninggal dan sudah mulai membusuk,” kata Rofiq.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa beberapa hari lalu Siti sempat mengeluh tentang sakit kepala dan gejala mirip masuk angin yang dideritanya. Namun, ia tidak mengetahui apakah Siti memiliki riwayat penyakit lain.

Kapolsek Banyuwangi AKP Kusmin mengatakan bahwa korban kemungkinan sudah meninggal empat hari sebelumnya. Bahkan, kulit korban dikabarkan sudah mengelupas dan dipenuhi belatung.

Menurut Kusmin, putra korban kini dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan karena ketika ditemukan dia dalam kondisi lemas.

"Kemungkinan sudah berhari-hari tidak makan," ujar Kusmin.

Rumah beratap genteng berwarna cokelat itu cukup tertata rapi, dengan kusen jendela dan pintu berwarna biru muda. Pintu itu kini tampak digembok.

Di depan rumah itu terdapat rempah-rempah yang biasa dijual Siti Komariyah di Pasar Blambangan.

Budi, warga yang menyewakan rumahnya kepada Siti dan Daniel sejak Maret 2021, mengatakan bahwa ia hanya pernah bertemu dengan Siti saat ia datang untuk melakukan pembayaran. Tapi, tidak pernah bercakap-cakap lebih dalam.

Sebab, Siti seringkali menghabiskan harinya berdagang di pasar.

“Jadi jam 03.00 pagi biasanya dia ke pasar, pulang belikan nasi buat anaknya. Enggak tahu jam berapa pulang, lalu malamnya menyiapkan makanan. Ia berjalan rempah-rempah,“ kata Budi.

Ia terakhir melihat Siti dua minggu yang lalu. Saat itu, pedagang pasar tersebut sudah terlihat kurang sehat.

“Pucat mukanya. Tapi kayaknya memang sakit. Kurus badannya, sudah pucat dan lemas,“ ungkap Budi.

Istri Budi sempat menyarankan agar Siti istirahat. Mereka tidak pernah bertemu Siti lagi setelah itu.

Rumah di kiri-kanan dan depan-belakang ditempati oleh warga, namun semua pintu warga tertutup rapat.

Salah satu tetangga yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa Siti jarang terlihat di acara pertemuan warga, hanya ketika ada acara besar seperti halal-bihalal. Meski begitu, Siti selalu membayar iuran untuk arisan atau keperluan komunitas lainnya.

Sementara Daniel, menurut tetangga tersebut, jarang sekali diperbolehkan keluar rumah oleh ibunya.

“Tidak pernah keluar sama sekali, saya tidak pernah bertemu putranya. Kalau ibunya sekilas lewat saat di masjid. Sekadar sapa saja, mengobrol tidak pernah, makanya tidak terlalu kenal,“ ujar tetangga yang enggan disebut namanya.

Ia mengetahui tentang putra Siti, Daniel, yang berkebutuhan khusus dari tetangga yang rumahnya tepat di samping Siti.

“[Daniel] memang tidak bisa bicara, [dia] pakai bahasa isyarat. Jalannya juga enggak terlalu bisa, kalau ngomong enggak bisa. Bisanya nangis. Ketika mandi dia juga dimandiin ibunya. Kadang mandi itu menangis, jadi kedengaran sampai kamar belakang,“ ujarnya.

Oleh karena itu, ia merasa aneh bahwa tidak ada yang pernah memberitahu tentang keberadaan Daniel kepada Dinas Sosial untuk diberikan bantuan atau dukungan.

“Saya juga tanya Pak Lurah, 'kok bisa ada anak yang berkebutuhan khusus'. Dia bilang, 'saya tidak tahu karena itu dari RT lama, seharusnya RT lama yang lapor ke Dinas Sosial atau Puskesmas',“ tuturnya.

Kalaupun ada warga yang berusaha menjangkaunya dan menawarkan bantuan, ia dapat dengan mudah merasa minder. Sehingga, hal ini dapat membuatnya terkesan tertutup.

“Karena mungkin dia secara sosial ekonomi di bawah yang lain dan punya anak penyandang disabilitas, tentu saja ada stigma tertentu sehingga kemudian ada rasa inferior untuk aktif menjadi bagian dari warga di situ,“ kata Fina.

Fina mengatakan bahwa individu-individu seperti Siti dan Daniel seringkali menjadi “tak kasat mata” karena mereka sulit menemukan rasa diterima di komunitas mereka. Salah satu alasan terbesar adalah stigma negatif yang masih dimiliki masyarakat di daerah pedesaan.

“Mereka dianggap polutan di masyarakat yang rural karena stigma itu dibungkus dalam mitos yang membuat mereka semakin enggan untuk bergaul dengan penyandang disabilitas,“ ujarnya.

Sosiolog dari Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, mengatakan bahwa kondisi yang terjadi pada Siti dan putranya Daniel, membuktikan bahwa masyarakat semakin tidak peka dengan kehidupan atau kondisi orang-orang yang tinggal di sekitar mereka.

“Kalau orang lewat dan tidak merasa ada kelainan, saya kira suatu kelalaian ini karena ketidakpekaan masyarakat kita. Ini suatu permasalahan yang serius sekarang ini,” ujar Hotman kepada BBC News Indonesia pada Selasa (26/03).

Sistem dasawisma merupakan kelompok yang terdiri dari 11 sampai 20 rumah dalam suatu komunitas.

Tugas para kader Dasawisma adalah untuk memantau sekaligus membantu mengantisipasi timbulnya penyakit yang membahayakan keluarga, terutama anak.

“Mungkin itu sudah tidak jalan. Kalau kita mengarahkan ke Dinas Sosial, mereka menunggu laporan. Mereka tidak punya aparat turun untuk setiap hari memantau kehidupan masyarakat,” ujar Hotman.

Ainur Rofiq mengatakan bahwa ia baru mulai menjabat sebagai ketua RT setidaknya satu bulan yang lalu. Saat menerima jabatan, ia pun tidak diberitahu tentang kondisi Siti maupun Daniel, putranya yang berkebutuhan khusus.

Meskipun ia sendiri tidak secara langsung mengenal Siti, ia mengatakan bahwa warga di sekitar perumahan itu sangat peduli dengan Siti dan putranya.

“Saat almarhum sakit pun beliau sampai menawarkan diri untuk dimintai tolong berobat dan mengingatkan yang bersangkutan kalau nanti ada apa-apa untuk menghubungi tetangga.

“Artinya, sebenarnya tetangga-tetangga di sini sangat peduli dengan beliau. Kalau kami selaku RT terus terang saja yang bersangkutan dengan kami belum pernah berkomunikasi,” jelasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/28/165600978/stigma-ganda-ibu-tunggal-di-balik-kisah-pemuda-autis-sendirian-temani-jasad

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke