“Bebas kan di ranah pidananya. Tapi konflik lahan masih harus kita hadapi. Sebagian dari tanah perkebunan itu dulu tanah itu milik orangtua kami,” ujar Djemuri kepada Kompas.com usai persidangan.
Menurutnya, warga Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum sudah berjuang selama puluhan tahun untuk mendapatkan kembali hak atas lahan yang bukti kepemilikan Letter D mereka peroleh pada tahun 1956. Tapi, dua tahun kemudian, petugas Pendapatan Pemerintah dari Tulungagung menarik dokumen kepemilikan tanah itu dari warga dengan alasan lahan akan digunakan untuk pembangunan lapangan terbang.
Tahun 1962, kata Djemuri, bukan pembangunan lapangan terbang yang dilakukan di Desa Sidorejo yang dulu bernama Desa Senggrong, namun penanaman cengkeh oleh GAPRI (Gabungan Pabrik Rokok Republik Indonesia).
Selanjutnya, penguasa lahan perkebunan silih berganti hingga terakhir adalah PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran.
Baca juga: Mantan Wali Kota Blitar Divonis 2 Tahun Penjara dalam Kasus Perampokan Rumah Dinas
Dua tahun setelah Gerakan Reformasi 1998 yang ditandai oleh mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, pada 21 Juni 2000, ratusan warga Klakah, Telogo Arum dan lainnya menggelar unjuk rasa ke pihak perkebunan yang berujung pada terjadinya bentrok antara para petani dan aparat keamanan dari kepolisian dan TNI.
Menurut Djemari, saat terjadi bentrok, aparat keamanan memberondongkan senapan ke arah warga sehingga banyak jatuh korban di pihak warga.
Djemari dan warga lain meyakini banyak jatuh korban jiwa pada Juni kelabu itu namun banyak korban jiwa yang tidak dikenali oleh warga setempat.
“Kalau yang mati dari warga kami ada dua, Sumarlin dan Samidi,” tuturnya, sembari menambahkan bahwa setidaknya tiga warga mengalami luka parah dan cacat permanen.
Kata Djemuri, selain berjuang menuntut tanah mereka, warga juga akan terus menuntut keadilan atas peristiwa kelabu Juni 2000 itu.
“Hingga kini belum pernah ada pengadilan atas kekerasan aparat keamanan yang terjadi 23 tahun lalu itu,” ujarnya.
Terkait aktivitas warga menanam singkong dan pisang di lahan yang dikuasai pihak perkebunan dan membuat dirinya dan dua warga lain diadili, Djemuri mengatakan bahwa warga melakukan hal itu lantaran tekanan ekonomi yang semakin berat terutama setelah pandemi Covid-19.
“Kami menanam singkong dan pisang untuk makan,” kata Djemuri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.