Salin Artikel

3 Petani Divonis Bebas atas Penyerobotan Tanah Perkebunan Cengkeh di Blitar

BLITAR, KOMPAS.com – Tiga petani di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, divonis bebas di Pengadilan Negeri Blitar, Jumat (13/10/2023), atas dakwaan menyerobot tanah milik perusahaan perkebunan cengkeh.

Ketiga petani itu yaitu Djemuri (62), Jiat Riyadi (61), dan Prianto Sukiran (72).

Hakim tunggal yang mengadili perkara tindak pidana ringan tersebut, Muhamad Syafi’i, menilai bahwa pasal-pasal yang digunakan penyidik Polres Blitar untuk menjerat tiga warga Dusun Klakah, Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, itu tidak tepat untuk diterapkan.

“Perbuatan para terdakwa bukanlah merupakan suatu tindak pidana karena itu para terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum,” kata Syafi’i membacakan amar putusan dihadapan para terdakwa dan penyidik kepolisian dari Polres Blitar.

Meski menyebut para terdakwa terbukti melakukan aktivitas pemanfaatan tanah tanpa seizin penguasa tanah, kata Syafi’i, esensi dari perkara tersebut lebih merupakan sengketa tanah antara terdakwa dan warga Desa Sidorejo lainnya dengan PT Perkebunan Tjengkeh yang berkedudukan di Malang dan menguasai ratusan hektar lahan di desa tersebut.

Karenanya, lanjut Syafii, perkara tersebut seharusnya diselesaikan di ranah yurisdiksi peradilan perdata.

“Dengan ini, mengadili, terdakwa Djemuri, Jiat Riyadi, dan Prianto Sukiran, terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana,” ujar Syafi’i.

“Kedua melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum,” tambahnya.

Usai membacakan amar putusan dan memukulkan palu ke meja sebagai tanda berakhirnya persidangan, Syafii mengatakan kepada penyidik dari Polres Blitar tentang pentingnya membuktikan sertifikat HGU yang dimiliki PT Perkebunan Tjengkeh atau PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran diperoleh melalui proses yang legal.

Menanam singkong dan pisang

Sidang perkara tindak pidana ringan (Tipiring) penyerobotan lahan itu merupakan sidang atas perbuatan para terdakwa dan sekitar 70 warga Dusun Klakah, Desa Sidorejo lainnya hampir setahun yang lalu, yakni pada 11 November 2022.

Menurut penyidik kepolisian, tindakan tiga tersangka dan 70 warga lainnya telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya atau Pasal 167 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

“Setelah terdakwa dan warga lainnya tidak mengindahkan peringatan dari petugas keamanan perusahaan perkebunan dan pihak kepolisian, PT Perkebunan Tjengkeh melaporkan kasus itu ke Polres Blitar,” ujar Yuni.

Setelah menetapkan Djemuri, Jiat Riyadi dan Priyatno Sukiran sebagai terdakwa, Polres Blitar mewajibkan mereka untuk melapor sekali dalam sepekan sejak pertengahan Januari 2023 hingga menjelang persidangan tersebut.

Puluhan tahun perjuangan petani

Tidak ada sujud syukur, atau tepuk tangan, atau para terdakwa saling berangkulan usai hakim tunggal Muhammad Syafii membacakan vonis bebas.

Ketiga terdakwa juga tidak mengatakan sepatah kata pun ketika Syafii menanyakan apakah para terdakwa menerima vonis bebas tersebut.

“Silakan kalau mau pikir-pikir dulu atas hasil sidang ini,” kata Syafii setelah tidak mendapatkan jawaban dari para tersangka.

Keluar dari ruang sidang, Djemuri mengatakan warga menghargai vonis bebas yang dijatuhkan hakim. Namun, warga Desa Sidorejo masih harus berjuang mendapatkan sebagian tanah yang dikuasi perusahaan perkebunan cengkeh yang mereka klaim merupakan warisan dari leluhur mereka.

Menurutnya, warga Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum sudah berjuang selama puluhan tahun untuk mendapatkan kembali hak atas lahan yang bukti kepemilikan Letter D mereka peroleh pada tahun 1956. Tapi, dua tahun kemudian, petugas Pendapatan Pemerintah dari Tulungagung menarik dokumen kepemilikan tanah itu dari warga dengan alasan lahan akan digunakan untuk pembangunan lapangan terbang.

Tahun 1962, kata Djemuri, bukan pembangunan lapangan terbang yang dilakukan di Desa Sidorejo yang dulu bernama Desa Senggrong, namun penanaman cengkeh oleh GAPRI (Gabungan Pabrik Rokok Republik Indonesia).

Selanjutnya, penguasa lahan perkebunan silih berganti hingga terakhir adalah PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran.

Dua tahun setelah Gerakan Reformasi 1998 yang ditandai oleh mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, pada 21 Juni 2000, ratusan warga Klakah, Telogo Arum dan lainnya menggelar unjuk rasa ke pihak perkebunan yang berujung pada terjadinya bentrok antara para petani dan aparat keamanan dari kepolisian dan TNI.

Menurut Djemari, saat terjadi bentrok, aparat keamanan memberondongkan senapan ke arah warga sehingga banyak jatuh korban di pihak warga.

Djemari dan warga lain meyakini banyak jatuh korban jiwa pada Juni kelabu itu namun banyak korban jiwa yang tidak dikenali oleh warga setempat.

“Kalau yang mati dari warga kami ada dua, Sumarlin dan Samidi,” tuturnya, sembari menambahkan bahwa setidaknya tiga warga mengalami luka parah dan cacat permanen.

Kata Djemuri, selain berjuang menuntut tanah mereka, warga juga akan terus menuntut keadilan atas peristiwa kelabu Juni 2000 itu.

“Hingga kini belum pernah ada pengadilan atas kekerasan aparat keamanan yang terjadi 23 tahun lalu itu,” ujarnya.

Terkait aktivitas warga menanam singkong dan pisang di lahan yang dikuasai pihak perkebunan dan membuat dirinya dan dua warga lain diadili, Djemuri mengatakan bahwa warga melakukan hal itu lantaran tekanan ekonomi yang semakin berat terutama setelah pandemi Covid-19.

“Kami menanam singkong dan pisang untuk makan,” kata Djemuri.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/10/14/125726078/3-petani-divonis-bebas-atas-penyerobotan-tanah-perkebunan-cengkeh-di-blitar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke