Sementara itu, pihak SMA Selamat Pagi Indonesia sempat membantah tudingan tersebut.
Kuasa hukum JE dari Kantor Hukum Recky Bernadus and Partners, Recky Bernadus Surupandy, meminta pihak kepolisian untuk membuktikan laporan itu.
Menurut dia, laporan yang dilayangkan ke Polda Jawa Timur oleh korban yang didampingi oleh Komnas PA belum memiliki bukti yang cukup sesuai dengan KUHAP.
"Pelaporan tersebut harus dilengkapi dengan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP," katanya melalui rilis yang diterima Kompas.com, Senin (31/5/2021).
"Maka dengan ini, kami selaku kuasa hukum menyatakan bahwa laporan tersebut belum terbukti dan akan mengikuti seluruh proses hukum yang ada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," jelasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Kepala SMA Selamat Pagi Indonesia, Risna Amalia.
Ia mengatakan, sejak sekolah itu berdiri tahun 2007, ia tak pernah menerima laporan kekerasan seksual di sekolah.
"Karena sesungguhnya yang diberitakan sama sekali tidak benar. Saya di sini sejak sekolah ini berdiri 2007. Bahkan saya menjadi kepala sekolah dan ibu asrama sampai saat ini. Tidak pernah terjadi kejadian-kejadian seperti yang disampaikan. Sama sekali tidak ada," katanya.
Namun, pengusutan kasus kejahatan yang diduga terjadi pada puluhan siswa sekolah tersebut seakan jalan di tempat.
Pada 15 November 2021, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Kota Batu kembali melaporkan pemilik sekolah Selamat Pagi Indonesia ke polisi karena ada dua korban baru.
Pelapor berharap, polisi bisa bergerak cepat mengusut kasus dugaan pelecehan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun ini.
Baca juga: Adu Mulut Arist Merdeka Sirait hingga Aksi Damai Warnai Sidang Kasus Kekerasan Seksual Sekolah SPI
Usai kasusnya terbongkar, Julianto Eka Putra digiring hingga ke pengadilan.
Setelah 19 kali menjalani sidang, JE, tersangka kasus kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) dijebloskan ke Lapas Lowokwaru, Malang, pada Senin (11/7/2022).
JE sebelumnya tak ditahan karena dianggap kooperatif. Ia kemudian ditahan karena dianggap mengintimidasi keluarga korban.
Total ada sekitar sembilan saksi korban yang mundur saat diminta untuk hadir di persidangan.
Berdasarkan laporan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kota Batu, pihak JE mengintimidasi para saksi korban dengan iming-iming akan memberi fasilitas tertentu.
"Keluarga saksi korban dihubungi melalui WhatsApp lalu diberi fasilitas tertentu," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim, Mia Amiati, kepada wartawan di kantornya, Senin (11/7/2022).
Baca juga: Jaksa Jemput Paksa Terdakwa Kasus Kekerasan Seksual Sekolah SPI
Akibatnya, ada beberapa orangtua saksi korban memilih tidak menghadirkan putrinya ke persidangan untuk bersaksi.
Atas dasar itulah, pada April 2022, jaksa berkirim surat permohonan kepada majelis hakim agar terdakwa ditahan.
"Namun, permohonan ditolak karena terdakwa dianggap kooperatif," jelas Mia.
Jaksa kembali berkirim surat permohonan kedua agar terdakwa JE ditahan. Permohonan tersebut baru dikabulkan majelis hakim dengan munculnya penetapan majelis hakim nomor 60/pid.sus/2002.pn.mlg. pada Jumat (11/7/2022).
Baca juga: 2 Saksi Dihadirkan Dalam Sidang Lanjutan Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di Sekolah SPI
Surat penetapan tersebut menjadi dasar penangkapan JE oleh tim kejaksaan di rumahnya di kawasan perumahan elite Surabaya barat pada Jumat siang.
"Kami bersyukur akhirnya terdakwa JE berhasil ditangkap untuk kepentingan penuntutan," jelasnya.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Achmad Faizal | Editor : Andi Hartik), Tribunnews.com
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.