"Arisan dulu dilakukan konteksnya untuk membantu di komunitas yang memiliki ikatan tertentu. Sebagai bentuk solidaritas. Seperti arisan untuk biaya pernikahan atau arisan keluarga untuk silaturahmi. Sekarang niat arisannya sudah beda," kata Linda.
Namun perkembangan digital yang terus tumbuh tak diimbangi dengan pengetahuan literasi digital dan finasial digital masyarakat.
Baca juga: Tersangka Arisan Fiktif di Sumedang dan Bandung Pamer Hidup Mewah di Medsos, Polisi: Menarik Korban
Hal tersebut membuat banyak orang terjebak dengan arisan online fiktif.
"Yang penting ada untung besar, akhirnya mereka tertarik untuk ikut arisan. Para korban juga tak memahami pengetahuan tentang finasial digital dan hanya modal kepercayaan," kata Linda.
Ia juga menjelaskan saat ini banyak sekali investasi yang menggunakan istilah arisan karena masyarakat awam lebih bisa menerima.
"Kalau pake istilah investasi kan orang berpikirnya ada untung rugi. Nah kalo pakai istilah arisan pasti mikirnya untung. Ini menyamarkan eksploitasi investasi," kata Linda.
Baca juga: Bertambah, Jumlah Pelapor Arisan Bodong di Sumedang dan Kabupaten Bandung
Apalagi di media sosial disuguhkan dengan fenomena crazy rich yang awalnya bukan siapa-siapa lalu menjadi kaya.
Hal tersebut membuat banyak orang kehilangan rasional dan kemampuan untuk kritis.
"Agar tidak terulang yang perlu dilakukan adalah memperbanyak literasi. Jangan percaya dengan keuntungan besar dalam waktu yang singkat. Berpikir ulang saat akan mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Selain itu yang harus dipahami adalah arisan bukanlah bentuk dari investasi," kata Linda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.