Fenomena ini berbeda dari rasional instrumental.
"Kalau rasional instrumental itu ya kalau mau punya uang ya harus kerja, kalau mau dapat ijazah ya kuliah, kalau mau berobat ya orang yang didatangi harus punya ilmunya," tutur Drajat.
Berdasarkan keterangan Kepala Desa, kelompok ini sudah melakukan kegiatan dua tahun lalu atau sejak pandemi Covid-19 melanda.
Drajat menilai, ketika pandemi, masyarakat menghadapi sebuah situasi ketidakpastian.
Warga dihadapkan pada tekanan ekonomi, pekerjaan, hingga kesehatan.
"Maka ketika jalur formal, jalur di lembaga yang kompeten tidak bisa didatangi, mereka akan pergi ke jalur alternatif seperti ini. Apalagi jika masuk berdasarkan rasional nilai, mereka akan menyerahkan diri secara total, termasuk tidak memikirkan risiko," katanya.
Baca juga: Apa Itu Kelompok Tunggal Jati Nusantara, Penggelar Ritual Berujung Tewasnya 11 Orang di Jember?
Menurutnya, ada dua langkah yang bisa ditempuh supaya kejadian serupa tak lagi terulang.
Pertama, yakni dengan mengedukasi masyarakat, khususnya mereka di wilayah-wilayah yang belum banyak terjangkau informasi.
"Kedua, penegakan hukum, moral, sosial. Kesbangpol, MUI atau forum kerukunan umat beragama, harus banyak aktif supaya kalau ada masalah seperti ini ada saluran lapornya," kata dia.
Baca juga: Anggota Polisi Bondowoso Jadi Korban Ritual Maut di Pantai Payangan Jember
Jika didapati laporan, maka pihak berwenang tersebut bisa mengundang dan mengajak bicara kelompok bersangkutan.
"Kalau urusan kepercayaan maka tidak bisa langsung disetop begitu saja. Tapi diajak dialog, diajak bicara, menyimpang tidak dari ajaran agama, membahayakan hidup orang tidak, ada penipuan tidak," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.