Salin Artikel

Fenomena Kelompok Tunggal Jati Nusantara dan Ritual Maut di Pantai Jember dari Kacamata Sosiolog

Dalam peristiwa itu, 11 dari 23 tiga orang yang terlibat dalam ritual tewas terseret ombak.

Kelompok ritual dan rasional nilai parokial

Penggelar ritual tersebut yakni kelompok Tunggal Jati Nusantara yang berada di Desa Dukuh Mencek, Kecamatan Sukorambi, Jember, Jawa Timur.

Berdasarkan keterangan Kepala Desa Mencek Nanda Setiawan, pemimpin kelompok yang bernama Hasan, bukan kiai atau ustaz.

Pemimpin kelompok diketahui bekerja sebagai MC acara dangdut hingga berjualan daring.

Dia sering menggelar kegiatan di ruang tamu rumahnya. Mulanya pihak desa tidak menaruh curiga lantaran kegiatan awalnya berisi zikir hingga selawat. 

Ternyata, setelah ditelusuri, ritual di pantai yang diyakini bisa melancarkan usaha itu juga tak hanya digelar sekali.

Dosen Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono menjelaskan, dalam ilmu sosiologi, tindakan masyarakat mendatangi hingga mengikuti ritual semacam itu disebut rasional nilai parokial.

"Rasional nilai itu dasarnya adalah keyakinan saja," katanya saat dihubungi Kompas.com melalui telepon, Senin (14/2/2022).

"Misalnya, kalau sakit ya sembuh, kalau miskin ya kaya," katanya.

Sedangkan rasional nilai parokial, lanjut Drajat, sampai ke tahap tidak memerhatikan siapa orang yang mereka datangi. Warga hanya berharap akan menemukan apa yang dia inginkan ketika datang.

"Kayaknya orang, masyarakat ini berada pada posisi rasional nilai parokial, dia tidak melihat siapa ini (pemimpin kelompok). Bahwa ada yang memberi tahu dan mengikuti saja," ujarnya.


Fenomena ini berbeda dari rasional instrumental.

"Kalau rasional instrumental itu ya kalau mau punya uang ya harus kerja, kalau mau dapat ijazah ya kuliah, kalau mau berobat ya orang yang didatangi harus punya ilmunya," tutur Drajat.

Berdasarkan keterangan Kepala Desa, kelompok ini sudah melakukan kegiatan dua tahun lalu atau sejak pandemi Covid-19 melanda.

Drajat menilai, ketika pandemi, masyarakat menghadapi sebuah situasi ketidakpastian.

Warga dihadapkan pada tekanan ekonomi, pekerjaan, hingga kesehatan.

"Maka ketika jalur formal, jalur di lembaga yang kompeten tidak bisa didatangi, mereka akan pergi ke jalur alternatif seperti ini. Apalagi jika masuk berdasarkan rasional nilai, mereka akan menyerahkan diri secara total, termasuk tidak memikirkan risiko," katanya.

Menurutnya, ada dua langkah yang bisa ditempuh supaya kejadian serupa tak lagi terulang.

Pertama, yakni dengan mengedukasi masyarakat, khususnya mereka di wilayah-wilayah yang belum banyak terjangkau informasi.

"Kedua, penegakan hukum, moral, sosial. Kesbangpol, MUI atau forum kerukunan umat beragama, harus banyak aktif supaya kalau ada masalah seperti ini ada saluran lapornya," kata dia.

Jika didapati laporan, maka pihak berwenang tersebut bisa mengundang dan mengajak bicara kelompok bersangkutan.

"Kalau urusan kepercayaan maka tidak bisa langsung disetop begitu saja. Tapi diajak dialog, diajak bicara, menyimpang tidak dari ajaran agama, membahayakan hidup orang tidak, ada penipuan tidak," katanya.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/02/14/144338378/fenomena-kelompok-tunggal-jati-nusantara-dan-ritual-maut-di-pantai-jember

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke