Saat berada di Indonesia, dia baru mengetahui jika Johanna telah menikah lagi.
Pada 1947, Danudirja menikahi Nelly. setelah Danudirja wafat, Nelley menikah kembali dengan Wayne E. Evans di 1964 dan menetap di Amerika Serikat.
Ayahnya berprofesi sebagai pialang bursa efek serta agen bank. Maka, kehidupan dia dan keluarganya sering berpindah-pindah tempat. Hal ini berimbas pada, pendidikan yang diperoleh Danudirja.
Awalnya, dia bersekolah di Europeesche Lagare Scholl (ELS) Batavia, setingkat sekolah dasar untuk masyarakat Eropa dan keturunan Eropa di Hindia Belanda.
Saat sekolah di ELS, dia mengenal sosok Multatuli melalui karyanya Max Havelaar dan menginspirasi dirinya untuk menjadi seorang penulis di kemudian hari.
Pada 1892, Keluarga Danudirja berpindah-pindah ke Surabaya dan meneruskan pendidikan di Hogere Burger School (HBS) bersama kakaknya Julius.
Setahun kemudian, pada 1893, ia dan keluarganya kembali ke Batavia. Danudirja meneruskan pendidikannya di HBS Gymnasium Koning di Willem III, sekolah yang berada di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.
Selama menempuh pendidikan di Gymnasium, ia mengasah bakatnya sebagai seorang penulis. Saat usia 14 tahun. Ia mampu menulis buku Gedenkboek van Lombok.
Setelah lulus dari HBS pada 1898, ia tidak langsung meneruskan ke perguruan tinggi, karena di Hindia Belanda beluma da sekolah yang setingkat perguruan tinggai.
Baca juga: Max Havelaar: Cerita, Kritik, dan Dampak
Danudirja mendapatkan pekerjaan pertamanya di perkebunan kopi "Soember Doerene di Malang, Jawa Timur". Tak jarang, dia sering berkonflik dengan managernya yang membuatnya dipindahkan ke perusahaan tebu.
Setelah ibunya meninggal, dia berpetualang menjadi sukarelawan ke luar negeri. Saat di luar negeri, dia membantu penduduk Afrika melawan Inggris.
Karena keterlibatannya ini, Danudirja kehilangan kewarganegaraan sebagai orang Belanda.
Pada 1902, Danudirja kembali ke Hindia Belanda. Ia mulai berkarir di jurnalistik dengan bergabung di sejumlah media, yaitu Seamrang, De Locomotief, Soerabaiasch Handelsbland, dan menjadi staf redaksi di Nieuwsblad.
Kemudian, dia mendirikan Tijdschrift yang nantinya berganti nama menjadi majalah Express.
Danudirja paham bahwa bidang jurnalistik dapat dijadikan sebagai alat perjuangan melawan pemerintah Kolonial Belanda.