Salin Artikel

Douwes Dekker: Tempat Lahir, Nama Panggilan, Perjuangan, dan Peran dalam Kemerdekaan

KOMPAS.com - Douwes Dekker memiliki nama lengkap Ernest Franquis Eugene Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Ia lahir di tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur.

Ernest Francois Eugene Douwes adalah nama yang dipakai sejak kecil. Sedangkan, Danudirja Setiabudi baru dipakai setelah Indonesia Merdeka. Nama ini adalah pemberian Presiden Soekarno.

Arti nama tersebut adalah Danu berarti Banteng, Dirja berarti kuat dan tangguh, sementara Setiabudi mempunyai arti berbudi setia.

Soekarno berkeinginan nama Danudirja dapat diabadikan dengan singkatan DD menggantikan Douwes Dekker.

Ia adalah tokoh politik dan petriot Indonesia, pembangkit, semangat kebangsaan Indonesia, penentang penjajahan yang gigih, wartawan dan sastrawan. Dia mendapat gelar pahlawan dengan SK Presiden RI No. 590/1961.

Ia adalah putra Auguste Henri Edouard Dowes Dekker dan Loisa Margaretha Neumann.

Dalam tubuhnya mengalir darah Belanda, Prancis, Jerman, dan Jawa. Darah Jawa mengalir dari nenek pihak ibu.

Douwes Dekker adalah kemenakan dari Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, penulis buku Max Havelaar yang terkenal.

Eduard Dowes Dekker juga merupakan tokoh politis etis yang berani mengkritik pemerintah kolonial Belanda.

Pernikahan Douwes Dekker

Douwes Dekker menikah sebanyak tiga kali. Pertama dengan Clara Charlotte Deije (1895-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada 1903. Pernikahan dikaruniai 5 anak. keduanya sepakat bercerai pada 1919.

Selanjutnya, dia menikah dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi pada 1927. Selama menikah, mereka tidak memiliki anak. Johanna nantinya membantu Danudirja mengelola Ksatrian Instituut.

Saat Danudirja diasingkan ke Suriname (1941), Johanna menikah lagi dengan Djafar Kartodiredjo, meski tanpa perceraian resmi. Tidak diketahui, apakah Danudirja mengetahui pernikahan istrinya.

Namun dari pengasingan, Danudirja tetap mengirimkan surat kepada istrinya meski tidak pernah dibalas.

Ketika Danudirja berhasil kabur dari Suriname dan sementara menetap di Belanda. Ia dirawat oleh Nelly Alberta Geertzema, janda beranak satu.

Bersama Nelly, ia pulang ke Indonesia dengan menggunakan nama samaran, yaitu Danudirja Setiabudi dan Haroemi Wanasita.

Saat berada di Indonesia, dia baru mengetahui jika Johanna telah menikah lagi.

Pada 1947, Danudirja menikahi Nelly. setelah Danudirja wafat, Nelley menikah kembali dengan Wayne E. Evans di 1964 dan menetap di Amerika Serikat.

Pendidikan dan Pekerjaan Awal Danudirja Setiabudi

Ayahnya berprofesi sebagai pialang bursa efek serta agen bank. Maka, kehidupan dia dan keluarganya sering berpindah-pindah tempat. Hal ini berimbas pada, pendidikan yang diperoleh Danudirja.

Awalnya, dia bersekolah di Europeesche Lagare Scholl (ELS) Batavia, setingkat sekolah dasar untuk masyarakat Eropa dan keturunan Eropa di Hindia Belanda.

Saat sekolah di ELS, dia mengenal sosok Multatuli melalui karyanya Max Havelaar dan menginspirasi dirinya untuk menjadi seorang penulis di kemudian hari.

Pada 1892, Keluarga Danudirja berpindah-pindah ke Surabaya dan meneruskan pendidikan di Hogere Burger School (HBS) bersama kakaknya Julius.

Setahun kemudian, pada 1893, ia dan keluarganya kembali ke Batavia. Danudirja meneruskan pendidikannya di HBS Gymnasium Koning di Willem III, sekolah yang berada di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.

Selama menempuh pendidikan di Gymnasium, ia mengasah bakatnya sebagai seorang penulis. Saat usia 14 tahun. Ia mampu menulis buku Gedenkboek van Lombok.

Setelah lulus dari HBS pada 1898, ia tidak langsung meneruskan ke perguruan tinggi, karena di Hindia Belanda beluma da sekolah yang setingkat perguruan tinggai.

Danudirja mendapatkan pekerjaan pertamanya di perkebunan kopi "Soember Doerene di Malang, Jawa Timur". Tak jarang, dia sering berkonflik dengan managernya yang membuatnya dipindahkan ke perusahaan tebu.

Setelah ibunya meninggal, dia berpetualang menjadi sukarelawan ke luar negeri. Saat di luar negeri, dia membantu penduduk Afrika melawan Inggris.

Karena keterlibatannya ini, Danudirja kehilangan kewarganegaraan sebagai orang Belanda.

Perjuangan di Bidang Jurnalistik hingga Politik

Pada 1902, Danudirja kembali ke Hindia Belanda. Ia mulai berkarir di jurnalistik dengan bergabung di sejumlah media, yaitu Seamrang, De Locomotief, Soerabaiasch Handelsbland, dan menjadi staf redaksi di Nieuwsblad.

Kemudian, dia mendirikan Tijdschrift yang nantinya berganti nama menjadi majalah Express.

Danudirja paham bahwa bidang jurnalistik dapat dijadikan sebagai alat perjuangan melawan pemerintah Kolonial Belanda.

Sehingga selama berprofesi sebagai wartawan, ia seringkali membuat tulisan-tulisan yang membuat pro terhadap kaum Indo dan pribumi.

Bergabungnya Danudirja, Tjipto dan Soewardi ke dalam Insulinde memperkokoh perjuangan dalam bidang politik.

Pada 1919, Insulinde berubah nama menjadi National Indische Partij yang diketuai Soewardi.

Bergabung ketiganya di organisasi ini telah mengkhawatirkan pemerintah kolonial, ketiganya dianggap telah membawa pengaruh ke Insulinde untuk menjalankan politik kontra pemerintah atau anti kolonial.

Pada 1921, pemerintah kolonial resmi membubarkan National Indische Partij yang dianggap membahayakan ketertiban umum.

Perjuangan Danudirja Berubah Haluan

Dari organisasi politik, Danudirja berpindah haluan dengan berjuang di jalur pendidikan. Dia melihat diskriminasi pendidikan kaum pribumi terus berjalan.

Danudirja tergerak untuk mempropagandakan sebuah pemikiran dan pembelajaran tentang makna nasionalisme untuk tujuan akhir, yaitu Hindia Belanda memperoleh Kemerdekaan melalui perjuangan yang tidak mudah.

Danudirja siap mengabdikan jiwa dan raga untuk kemajuan pendidikan di Hindia Belanda.

Hal ini terbukti sejak November 1924, lembaga Priangan diubah menjadi yayasan yang bernama School Vereeniging Het Kesatrian Institute atau sering disingkat Kesatrian Institut.

Tujuan sekolah untuk memberikan pembelajaran yang lebih baik pada rakyat Hindia Belanda.

Pada Januari 1941, Danudirja ditangkap dan ditahan di Ngawi dengan tuduhan menjadi kaki tangan Jepang.

Alasannya, karena adanya rencana pengiriman pelajar lulusan sekolah Ksatrian ke Jepang. Tuduhan itu hanya alasan yang dicari-cari oleh pemerintah kolonial untuk menangkapnya.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Danudirja kembali ke Indonesia dan turut dalam perjuangan
kemerdekaan. Ia ditangkap dan dipenjarakan kembali oleh Belanda.

Setelah dibebaskan, ia bermukim di Bandung hingga ujung usia. Danudirja meninggal
28 Oktober 1950 di Bandung.

Sumber: dpad.jogjaprov.go.id, kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, dan
diskerpus.lebakkab.go.id

https://surabaya.kompas.com/read/2022/01/10/165946778/douwes-dekker-tempat-lahir-nama-panggilan-perjuangan-dan-peran-dalam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke