PONOROGO, KOMPAS.com – Suasana sunyi begitu terasa di sebuah rumah sederhana yang berdiri di Jalan Pemuda, Desa Nambak, Kecamatan Bungkal, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Di salah satu ruang tamu yang penuh dengan aroma malam dan lilin batik, sehelai kain terbentang di meja kayu.
Kain itu bukan sekadar batik biasa. Ia disebut sebagai masterpiece oleh sang pembuat, Dian Fajariono, atau akrab disapa Nano.
Nano, pemilik Rumah Batik Fajar Batik menyambut setiap tamu dengan senyum hangat.
Matanya seketika berbinar saat berbicara tentang kain batik yang ia buat selama hampir tujuh bulan itu. "Ini bukan sekadar kain," ucapnya.
"Ini cerita, ini sejarah, ini jiwa," kata Nano.
Batik yang didominasi warna biru pudar dengan motif burung merak tersebut diberi nama “Sesideman”.
Baca juga: Batik Tulis Gentongan Khas Bangkalan, Direndam dalam Gentong Berbulan-bulan
Menurut Nano, motif ini lahir dari sebuah legenda di Ponorogo. Kisahnya tentang seorang putri bernama Sundul Langit yang diperebutkan banyak orang.
Cerita putri Sundul Langit merupakan legenda yang dipercaya bagian dari sejarah berdirinya Ponorogo, saat Putri Sundul Langit meminta tebusan sesuatu yang belum pernah ada untuk mempersuntingnya. Pada akhirnya, ia memilih satu orang sebagai jodohnya.
"Motif ini punya filosofi mendalam," tutur Nano sambil menunjuk detail gambar pada kain.
"Saya ibaratkan seperti burung. Tebusannya tidak main-main, karena harus menceritakan sesuatu yang belum pernah ada. Jadi batik ini benar-benar satu-satunya." kata dia.
Legenda itu, kata Nano, menjadi napas utama dalam goresan batiknya. Dari atas hingga bawah kain, motif-motif itu bercerita dalam satu kesatuan.
Batik sesideman yang dia ciptakan merupakan sebuah koleksi karya seni dibandingkan dengan kain yang akan dijadikan bahan pakaian.
Karena secarik batik tersebut tidak bisa dipotong untuk dijadikan baju. Makna dari motif batik tersebut akan hilang karena dipisahkan.
"Ceritanya jadi hilang. Makanya batik ini tidak bisa diproduksi massal," katanya.