"Kalau dipakai baju, potongannya akan merusak cerita. Karena itu lebih cocok untuk koleksi," kata dia.
Menurut Nano, membuat batik bukan sekadar pekerjaan, melainkan juga bentuk pengabdian.
Ia ingin agar batik Ponorogo dikenal tidak hanya sebagai kain, tetapi juga sebagai karya seni yang hidup.
"Kalau hanya baju, mungkin cepat hilang. Tapi kalau jadi karya seni, ia akan bertahan lebih lama," katanya.
Meski masterpiece pertamanya belum dilepas, Nano sudah menyiapkan rancangan karya berikutnya.
Sejak tahun 2013, ia menyimpan ide untuk menciptakan batik dengan kisah pertarungan harimau melawan burung merak.
Kainnya lebih panjang dari karya sebelumnya, yang sekitar 2,5 meter x 1,5 meter.
"Kain sepanjang itu memungkinkan saya memasukkan semua cerita. Kalau kurang atau lebih, maknanya bisa hilang," ucap dia.
Baca juga: Mengintip Geliat Perajin Batik Kediri, Kolaborasi dan Kreasi agar Tetap Eksis
Ia berencana menyelesaikan karya tersebut tahun depan, bertepatan dengan peringatan ulang tahun Kabupaten Ponorogo. "Mudah-mudahan bisa rampung. Biar jadi persembahan untuk kota ini," ujar dia.
Nano menyadari, di tengah gempuran industri tekstil modern, mempertahankan batik tulis dengan pewarna alami bukan perkara mudah. Butuh ketekunan, kesabaran, dan cinta pada budaya lokal. Namun, baginya, itulah jalan yang harus ditempuh.
"Kalau tidak ada yang menjaga, siapa lagi? Batik ini warisan leluhur. Saya hanya berusaha menambahkan cerita baru, agar Ponorogo punya identitas yang kuat," ucap Nano.
Dengan harga Rp15 juta, batik “Sesideman” mungkin terlihat mahal bagi sebagian orang.
Namun, bagi Nano, nilai sejati dari batik tidak bisa diukur dengan uang. Setiap goresan malam, setiap tetesan warna, dan setiap cerita yang ditenun di dalamnya adalah wujud ukiran cinta pada tanah kelahirannya, Kabupaten Ponorogo.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang