“Semua biaya itu harus ditanggung sebelum kobong menyala. Untuk kayu kita mengambil sampah bambu limbah pembuatan tusuk sate agaak murah,” katanya.
Di lahan tandus tersebut kini berdiri proyek raksasa. Pemerintah Kabupaten Ponorogo membangun Monumen Reog dan Monumen Peradaban (MRMP) di lahan seluas 9 hektare, tepat di tengah kawasan tambang lama.
Bupati Sugiri Sancoko menegaskan, warga yang sebelumnya bekerja sebagai pembuat batu gamping tidak boleh ditinggalkan.
“Sebelum ada penggantinya, ekonomi dari tambang biarkan dulu berjalan. Tapi begitu wisata jalan, masyarakat bisa hijrah dari tambang ke ekosistem wisata. Itu yang kita butuhkan,” katanya.
Hiruk pikuk pembangunan monumen itu sudah mengundang banyak orang. Bahkan sebelum rampung, pengunjung MRMP dari luar Kabupaten Ponorogo sudah mulai berdatangan.
“Sekarang warung saya makin ramai. Orang luar Sampung datang penasaran lihat monumen. Kalau nanti sudah jadi, pasti tambah ramai,” kata Fajar Sunaring, pemilik warung Soto Kuali Simbok.
Fajar mengaku selain mengembangkan usaha soto miliknya, ia juga berencana membuka home stay di rumahnya untuk menampung wisatawan yang akan berkunjung ke MRMP.
"Rumah saya sendiri yang akan saya sulap jadi homestay karena kalau Sabtu-Minggu di sini ramai sekalai wisatawan. Apalagi kalau ada event atau kegiatan itu lebih ramai lagi padahal warung saya itu jaraknya sekitar 500 meter dari sini,” ucapnya.
Di balik sisi tebing kapur yang berdiri megah Monumen Reog dan Monumen Peradaban Ponorogo, kobong milik Tukimin masih menyala, menyimpan kisah nenek moyang, keringat, dan tradisi panjang.
Di sisi lain, monumen baru menjanjikan masa depan yang berbeda, wisata budaya dan ekonomi kreatif.
Dia mengaku akan tetap menggeluti pekerjaan yang selama ini digeluti nenek moyang mereka.
“Harapan saya, pembakaran gamping ini jangan dihapus. Kalau bisa, dibina, dilestarikan, jadi bagian dari wisata,” pinta Tukimin.
Meski demikian, Tukimin mengaku menyambut baik keberadaan monument MRMP yang bisa menjadi lahan baru bagi anak cucunya kelak mengais rezeki dari destinasi wisata.
“Anak saya satu, sudah lulus sarjana, sudah menikah cucu saya satu. Saya senang ada monumen yang bisa membuka lapangan kerja untuk anak cucu saya. Kalau saya tetap di sini, membakar batu gamping,” pungkasnya.
Sampung kini berada di persimpangan sejarah. Api kobong tetap menyala, sementara menara monumen perlahan meninggi.
Dari tradisi membakar gamping hingga monumen yang melambangkan peradaban, warga Sampung sedang belajar berjalan di antara dua dunia: masa lalu yang menghidupi dan masa depan yang menjanjikan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang