PONOROGO, KOMPAS.com – Asap putih naik perlahan dari kobong (tungku raksasa dengan lebar 2 meter dan kedalaman 3 meter tempat membakar batu gamping) yang menyala di lereng Desa Sampung, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur siang itu.
Bau khas batu kapur terbakar bercampur dengan aroma kayu kering yang perlahan jadi arang di bawah tumpukan batu kapur yang mulai membara.
Dari kejauhan, tungku pembakaran itu menyerupai kawah kecil yang bernapas, mengeluarkan bara merah dan kepulan asap tebal.
“Yang seperti bara api ini yang sudah matang,” teriak Tukimin Emblek (65) warga Desa Sampung, Jumat (19/9/2025).
Suasana di sekitar 4 kobong yang berada di sebelah barat bukit kapur di Desa Sampung terlihat hiruk pikuk.
Dari 4 kobong yang berjajar terdengar suara batu disusun, kayu diseret, dan percikan api sesekali menyembur.
Baca juga: Pemkab Ponorogo Mulai Kumpulkan Artefak Kuno untuk Koleksi Monumen Reog dan Museum Peradaban
Di sinilah denyut hidup warga Sampung berabad-abad lalu berputar hingga saat ini.
“Sejak kecil saya sudah kenal kobong ini. Turun-temurun dari bapak, dari nenek moyang dulu juga membuat gamping,” ujar Tukimin.
Ia terlihat berlindung di balik sepotong seng untuk memeriksa tumpukan batu yang membara, memastikan beberap saat lagi waktunya tungku di kobong dimatikan.
“Zaman Belanda pun orang sini sudah membakar gamping. Setelah itu diteruskan sampai sekarang. Kalau tidak, kami tidak punya kerjaan lain,” katanya tersenyum kecut.
Dulu, cerita Tukimin, warga Sampung pernah menyaksikan bom besar meledak di gunung kapur.
Tentara memerintahkan mereka menggali lubang dalam, lalu bahan peledak dimasukkan. Satu ledakan bisa meruntuhkan bongkahan besar yang kemudian diolah jadi gamping.
Setelah tahun 1970-an, pemerintah daerah sempat turun tangan. Warga diberi obat peledak dan bor.
Namun masa itu telah berlalu. Kini semuanya kembali ke cangkul, linggis, dan otot manusia.
"Kalau zaman mbah saya, tentara kasih bom besar-besar, disuruh bikin galian dalam, lalu diledakkan. Setelah tahun 1971, daerah ikut mengarahkan, kasih obat sama alat ngebur. Tapi sekarang tidak, akhirnya masyarakat menggali manual,” ucapnya.