Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Pembuat Batu Gamping yang Bertahan meski Ada Proyek Monumen Reog dan Monumen Peradaban Ponorogo

Kompas.com, 20 September 2025, 10:39 WIB
Sukoco,
Aloysius Gonsaga AE

Tim Redaksi

PONOROGO,  KOMPAS.com – Asap putih naik perlahan dari kobong (tungku raksasa dengan lebar 2 meter dan kedalaman 3 meter tempat membakar batu gamping) yang menyala di lereng Desa Sampung, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur siang itu.

Bau khas batu kapur terbakar bercampur dengan aroma kayu kering yang perlahan jadi arang di bawah tumpukan batu kapur yang mulai membara.

Dari kejauhan, tungku pembakaran itu menyerupai kawah kecil yang bernapas, mengeluarkan bara merah dan kepulan asap tebal.

“Yang seperti bara api ini yang sudah matang,” teriak Tukimin Emblek (65) warga Desa Sampung, Jumat (19/9/2025).

Suasana di sekitar 4 kobong yang berada di sebelah barat bukit kapur di Desa Sampung terlihat hiruk pikuk.

Dari 4 kobong yang berjajar terdengar suara batu disusun, kayu diseret, dan percikan api sesekali menyembur.

Baca juga: Pemkab Ponorogo Mulai Kumpulkan Artefak Kuno untuk Koleksi Monumen Reog dan Museum Peradaban

Di sinilah denyut hidup warga Sampung berabad-abad lalu berputar hingga saat ini.

“Sejak kecil saya sudah kenal kobong ini. Turun-temurun dari bapak, dari nenek moyang dulu juga membuat gamping,” ujar Tukimin.

Ia terlihat berlindung di balik sepotong seng untuk memeriksa tumpukan batu yang membara, memastikan beberap saat lagi waktunya tungku di kobong dimatikan.

“Zaman Belanda pun orang sini sudah membakar gamping. Setelah itu diteruskan sampai sekarang. Kalau tidak, kami tidak punya kerjaan lain,” katanya tersenyum kecut.

Antara bom dan cangkul

Dulu, cerita Tukimin, warga Sampung pernah menyaksikan bom besar meledak di gunung kapur.

Tentara memerintahkan mereka menggali lubang dalam, lalu bahan peledak dimasukkan. Satu ledakan bisa meruntuhkan bongkahan besar yang kemudian diolah jadi gamping.

Setelah tahun 1970-an, pemerintah daerah sempat turun tangan. Warga diberi obat peledak dan bor.

Namun masa itu telah berlalu. Kini semuanya kembali ke cangkul, linggis, dan otot manusia.

"Kalau zaman mbah saya, tentara kasih bom besar-besar, disuruh bikin galian dalam, lalu diledakkan. Setelah tahun 1971, daerah ikut mengarahkan, kasih obat sama alat ngebur. Tapi sekarang tidak, akhirnya masyarakat menggali manual,” ucapnya.

Untuk membuat gamping, Tukimin mengaku butuh waktu dua hari satu malam dalam membakar batu gamping menjadi kapur putih sempurna.

Tiga orang bergantian berjaga, tidur pun hanya tiga jam secara bergantian.

Baca juga: Peletakan Batu Pertama Monumen Reog Ponorogo, Dibangun di Lokasi Bekas Tambang Batu Gamping

Hasil dari satu kobong menurutnya bisa sampai 10 ton. Meski demikian, keuntungan yang didapat tak seberapa.  

“Modalnya Rp 7 juta, untungnya paling Rp 250–300 ribu. Ya tetap jalan, karena tidak ada pekerjaan lain,” ujar Tukimin.

Kisah hidup di balik api Mbah Ceblek

Mbah Cemblek (63) yang kini berjalan dengan satu kaki, mengkau sudah membakar gamping sejak tahun 1981.

Dia terpaksa berjalan dengan satu kaki karena kecelakaan pada tahun 2004 saat truk yang ditumpanginya membawa kayu terbalik. Kaki kirinya terjepit sehinga harus diamputasi.

“Dari dulu hidup saya ya membakar gamping ini sampai kaki saya diamputasi ya karena bekerja di gamping,” ucapnya.

Mbah Cemblek mengaku mempekerjakan 3 orang untuk melakukan pembakaran batu gamping  di kobong miliknya.

Dia mengaku hanya bisa menggaji karyawannya Rp 35.000 per hari karena penjualan gamping tak seramai dahulu.

“Bisa nggajinya Rp 35.000 per hari karena sekarang sepi tidak seperti dulu. Kalau berhenti total, rasanya aneh. Sejak muda saya hidup dari sini,” ujarnya.

Pak Loso (64) juga punya cerita serupa. Baginya, gamping adalah jalan keluar dari tanah tandus tempat tinggalnya.

Dia mengaku tak memiliki tanah garapan sehingga satu-satunya pekerjaan yang bsia menghidupinya sejak orang tuanya dahulu adalah membuat batu gamping.

“Dari kakek buyut kami sudah membuat gamping. Lahan di sini tidak bisa ditanami kalau musim kemarau. Jadi ya batu inilah yang jadi rezeki,” kisahnya.

Baca juga: Ponorogo Bakal Punya Monumen Reog Raksasa Setinggi 126 Meter di Gunung Gamping

Pak Samijo (65) pemilik kobong lainnya mengaku untuk pembakaran kobong dibutuhkan setidaknya 12 ton batu gamping mentah atau setara dengan 15 truk roda 4.

Harga satu truk batu gamping Rp 500.000 di luar kayu bakar.

“Semua biaya itu harus ditanggung sebelum kobong menyala. Untuk kayu kita mengambil sampah bambu limbah pembuatan tusuk sate agaak murah,” katanya.

Jalan baru monumen dan wisata

Di lahan tandus tersebut kini berdiri proyek raksasa. Pemerintah Kabupaten Ponorogo membangun Monumen Reog dan Monumen Peradaban (MRMP) di lahan seluas 9 hektare, tepat di tengah kawasan tambang lama.

Bupati Sugiri Sancoko menegaskan, warga yang sebelumnya bekerja sebagai pembuat batu gamping tidak boleh ditinggalkan.

“Sebelum ada penggantinya, ekonomi dari tambang biarkan dulu berjalan. Tapi begitu wisata jalan, masyarakat bisa hijrah dari tambang ke ekosistem wisata. Itu yang kita butuhkan,” katanya.

Hiruk pikuk pembangunan monumen itu sudah mengundang banyak orang. Bahkan sebelum rampung, pengunjung MRMP dari luar Kabupaten Ponorogo sudah mulai berdatangan.

“Sekarang warung saya makin ramai. Orang luar Sampung datang penasaran lihat monumen. Kalau nanti sudah jadi, pasti tambah ramai,” kata Fajar Sunaring, pemilik warung Soto Kuali Simbok.

Fajar mengaku selain mengembangkan usaha soto miliknya, ia juga berencana membuka home stay di rumahnya untuk menampung wisatawan yang akan berkunjung ke MRMP.

"Rumah saya sendiri yang akan saya sulap jadi homestay karena kalau Sabtu-Minggu di sini ramai sekalai wisatawan. Apalagi kalau ada event atau kegiatan itu lebih ramai lagi padahal warung saya itu jaraknya sekitar 500 meter dari sini,” ucapnya.

Dari kobong ke peradaban

Di balik sisi tebing kapur yang berdiri megah Monumen Reog dan Monumen Peradaban Ponorogo, kobong milik Tukimin masih menyala, menyimpan kisah nenek moyang, keringat, dan tradisi panjang.

Di sisi lain, monumen baru menjanjikan masa depan yang berbeda, wisata budaya dan ekonomi kreatif.

Baca juga: Hadiri Peletakan Panel Kepala Burung Merak di Monumen Reog Ponorogo, Menteri Kebudayaan: Kita Bantu Penataan Museum

Dia mengaku akan tetap menggeluti pekerjaan yang selama ini digeluti nenek moyang mereka.

“Harapan saya, pembakaran gamping ini jangan dihapus. Kalau bisa, dibina, dilestarikan, jadi bagian dari wisata,” pinta Tukimin.

Meski demikian, Tukimin mengaku menyambut baik keberadaan monument MRMP yang bisa menjadi lahan baru bagi anak cucunya kelak mengais rezeki dari destinasi wisata.

“Anak saya satu, sudah lulus sarjana, sudah menikah cucu saya satu. Saya senang ada monumen yang bisa membuka lapangan kerja untuk anak cucu saya. Kalau saya tetap di sini, membakar batu gamping,” pungkasnya.

Sampung kini berada di persimpangan sejarah. Api kobong tetap menyala, sementara menara monumen perlahan meninggi.

Dari tradisi membakar gamping hingga monumen yang melambangkan peradaban, warga Sampung sedang belajar berjalan di antara dua dunia: masa lalu yang menghidupi dan masa depan yang menjanjikan.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau