Untuk membuat gamping, Tukimin mengaku butuh waktu dua hari satu malam dalam membakar batu gamping menjadi kapur putih sempurna.
Tiga orang bergantian berjaga, tidur pun hanya tiga jam secara bergantian.
Baca juga: Peletakan Batu Pertama Monumen Reog Ponorogo, Dibangun di Lokasi Bekas Tambang Batu Gamping
Hasil dari satu kobong menurutnya bisa sampai 10 ton. Meski demikian, keuntungan yang didapat tak seberapa.
“Modalnya Rp 7 juta, untungnya paling Rp 250–300 ribu. Ya tetap jalan, karena tidak ada pekerjaan lain,” ujar Tukimin.
Mbah Cemblek (63) yang kini berjalan dengan satu kaki, mengkau sudah membakar gamping sejak tahun 1981.
Dia terpaksa berjalan dengan satu kaki karena kecelakaan pada tahun 2004 saat truk yang ditumpanginya membawa kayu terbalik. Kaki kirinya terjepit sehinga harus diamputasi.
“Dari dulu hidup saya ya membakar gamping ini sampai kaki saya diamputasi ya karena bekerja di gamping,” ucapnya.
Mbah Cemblek mengaku mempekerjakan 3 orang untuk melakukan pembakaran batu gamping di kobong miliknya.
Dia mengaku hanya bisa menggaji karyawannya Rp 35.000 per hari karena penjualan gamping tak seramai dahulu.
“Bisa nggajinya Rp 35.000 per hari karena sekarang sepi tidak seperti dulu. Kalau berhenti total, rasanya aneh. Sejak muda saya hidup dari sini,” ujarnya.
Pak Loso (64) juga punya cerita serupa. Baginya, gamping adalah jalan keluar dari tanah tandus tempat tinggalnya.
Dia mengaku tak memiliki tanah garapan sehingga satu-satunya pekerjaan yang bsia menghidupinya sejak orang tuanya dahulu adalah membuat batu gamping.
“Dari kakek buyut kami sudah membuat gamping. Lahan di sini tidak bisa ditanami kalau musim kemarau. Jadi ya batu inilah yang jadi rezeki,” kisahnya.
Baca juga: Ponorogo Bakal Punya Monumen Reog Raksasa Setinggi 126 Meter di Gunung Gamping
Pak Samijo (65) pemilik kobong lainnya mengaku untuk pembakaran kobong dibutuhkan setidaknya 12 ton batu gamping mentah atau setara dengan 15 truk roda 4.
Harga satu truk batu gamping Rp 500.000 di luar kayu bakar.