“Srokal itu berisi doa, makanya kita bacakan tanpa adanya iringan gembrungan."
"Kita meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan lingkungan dan seluruh Indonesia untuk dihindarkan dari segala marabahaya,” kata Tugiran Purwowiyono (71) yang juga merupakan dari 6 dalang yang membacakan Kitab Barzanji.
Baca juga: Sosok di Balik Peran Juminten dalam Kesenian Ludruk Jawa Timur
Dari 33 babak yang dipagelarkan, salah satu bacaan yang dibawakan gembrungan adalah kisah penyebaran Islam di tanah Jawa.
Tugiran Purwowiyono mengatakan, selain Bahasa Arab, gembrungan juga dibawakan dalam Bahasa Jawa.
“Kita kembali mengenalkan sejarah masuknya Islam di Jawa dari Semarang kemudian menyebar ke Surabaya melalui syair yang liriknya pakai Bahasa Jawa agar generasi muda kita mengetahui sejarah sejarah Islam sampai di sini,” katanya.
Tak hanya syair yang penuh makna, gembrungan juga memiliki makna dari suguhan yang diberikan.
Biasanya ada suguhan kopi dan ketan yang menjadi ciri khas gembrungan setelah srokalan untuk memberikan waktu beristirahat para dalang dan bagian koor yang menyahut bacaan dalang.
“Kopi dan ketan itu memiliki makna agar kita bisa meniru atau mengkopi tindakan para nabi. Ketan bubuk itu artinya cakete soko tatanan (dekat dikarenakan ada aturan yang adil di masyarakat)” beber Tugiran Purwowiyono.
Baca juga: Reog Ponorogo Jadi Warisan Tak Benda, Fadli Zon Ajak Generasi Muda Cintai Kesenian Indonesia
Selain memiliki iringan tetabuhan gendang dan terbangan, budaya gembrungan juga memiliki pengaturan nada yang dilantunkan dari penyampaian Kitab Barzanji, di mana ada peran dalang yang membuka cerita dan sahutan koor paduan suara lebih dari 10 orang.
Supriyanto (70), salah satu suara koor penghubung dalang mengatakan, dalam gembrungan terdapat 33 bagian atau “babak” di mana setiap bagian memiliki nada dan cerita tersendiri.
“Pembukaan dimulai dengan nada kalem, lambat, seakan melambangkan kelahiran dan awal kehidupan. Lalu nada mulai meningkat di pertengahan, menggambarkan masa muda dan perjuangan."
"Pada bagian akhir, nada kembali menurun, menggambarkan fase tua dan akhir kehidupan,” katanya.
Pada fase di mana menceritakan peperangan besar yang dihadapi Nabi Muhammad, dalang menyampaikan dengan suara meninggi dan melengking.
“Itu namanya ngelik, sampai habis itu suaranya karena tinggi sekali. Dulu benar-benar disekolahkan untuk bisa mencapai nada ngelik itu. Sekarang tidak ada lagi yang mempelajari cara bisa mempunyai nada tinggi seperti itu,” imbuh Supriyanto.
Dari 30 pemain gembrungan baik penabuh gendang maupun dalang dan rombongan koor penyahut dalang grop gembrungan di Desa Sambirobyong semuanya telah berusia lanjut.
Dari 3 kelompok gembrungan, 1 di antaranya tidak lagi menampilkan kesenian yang sarat makna tersebut karena sudah bubar tidak ada generasi penerusnya.
Saekun mengaku gembrungan bukan sebuah kesenian yang komersial sehingga minim peminat.
“Tampilnya ya hanya di lingkungan sendiri setiap maulid. Tidak ada yang nanggap,” katanya.
Untuk menampilkan gembrungan juga membutuhkan personil yang cukup banyak.