Ditingkahi dengan terbangan besar dan terbangan kecil serta ketukan pada gendang tung tung semakin memberikan suasana religius lantunan sholawat yang dilagukan sekitar 30 orang dengan mengitari meja yang diletakkan di tengah Masjid Nduwuran Desa Sambirobong, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Setiap bulan Maulid Nabi Muhammad SAW, suasana masjid di Desa Sambirobyong berubah menjadi meriah sekaligus sakral.
Tradisi ini dikenal dengan sebutan gembrungan, sebuah warisan leluhur yang terus dilestarikan hingga kini.
Mbah Mesran (70) , salah seorang tokoh yang menjadi penjaga tradisi ini, menyebutkan bahwa gembrungan diwariskan dari mbah-mbah dulu dan dijalankan secara turun-temurun oleh generasi penerus di desanya.
“Gembrungan itu ritual budaya religius yang telah ada sejak masa nenek moyang sekaligus hiburan."
"Kami bertugas meneruskan budaya nenek moyang kita. Kami merupakan keturunan ke-6 atau ke-7 dari nenek moyang kami yang memainkan gembrungan,” ujarnya ditemui di Masjid Nduwuran tempat kegiatan gembrungan dilaksanakan pada Sabtu (6/9/2025).
Gembrungan di lingkungannya, menurut Mesran, tidak berubah seperti di tempat lain.
Di desanya ada 3 kelompok gembrungan namun saat ini tinggal 2 kelompok yang masih eksis.
“Sholawat tetap dibaca sebagaimana aslinya, tanpa perubahan. Alat gembrungan dari zaman mbah kita dulu ya seperti ini, kami tidak menambah alat apapun."
"Pengiring ya hanya terbang, gendang besar, gendang tuntung. Dari 3 kelompok gembrungan tinggal 2 yang aktif, 1 sudah tidak ada penerusnya,” imbuh Mesran.
Mbah Narto (75) selaku dalang dalam pagelaran gembrungan mengatakan, setiap tahun gembrungan biasanya digelar tiga kali, pada peringatan Maulid Nabi, malam 1 Suro, dan bersih desa.
Rangkaian acara dimulai sejak pagi sekitar pukul delapan dan usai menjelang sore pukul tiga atau setengah empat sore.
Alat musik utama dalam gembrungan terdiri dari gendang, rebana dengan diameter 60 cm atau disebut terbang kecil, terbang besar atau rebana dengan diameter sekitar 75 cm, gendang kecil atau gendang tung tung.
Perpaduan bunyi alat-alat itu menciptakan irama khas yang mengiringi pembacaan kitab-kitab keagamaan, salah satunya Kitab Barzanji.
Kitab ini berisi kisah hidup Nabi Muhammad SAW, dari lahir hingga wafat, sekaligus menceritakan penyebaran Islam di tanah Jawa.
“Kitab Barzanji itu yang berisi doa, pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemudian cerita lahirnya Nabi Muhammad, perjuangan penyebaran agama Islam hingga beliau wafat,” kata Narto.
Selain solawat, terdapat pula bacaan khusus yang disebut serokalab, berupa doa-doa untuk keselamatan bangsa dan umat Islam dalam babak penampilan gembrungan.
Sesi srokalan, biasanya dilantunkan usai beristirahat dan sholat dzuhur. Semua dalang dan beberapa anggota gembrungan berdiri mengelilingi meja yang terletak di tengah masjid.
“Srokal itu berisi doa, makanya kita bacakan tanpa adanya iringan gembrungan."
"Kita meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan lingkungan dan seluruh Indonesia untuk dihindarkan dari segala marabahaya,” kata Tugiran Purwowiyono (71) yang juga merupakan dari 6 dalang yang membacakan Kitab Barzanji.
Ada kopi dan ketan
Dari 33 babak yang dipagelarkan, salah satu bacaan yang dibawakan gembrungan adalah kisah penyebaran Islam di tanah Jawa.
Tugiran Purwowiyono mengatakan, selain Bahasa Arab, gembrungan juga dibawakan dalam Bahasa Jawa.
“Kita kembali mengenalkan sejarah masuknya Islam di Jawa dari Semarang kemudian menyebar ke Surabaya melalui syair yang liriknya pakai Bahasa Jawa agar generasi muda kita mengetahui sejarah sejarah Islam sampai di sini,” katanya.
Tak hanya syair yang penuh makna, gembrungan juga memiliki makna dari suguhan yang diberikan.
Biasanya ada suguhan kopi dan ketan yang menjadi ciri khas gembrungan setelah srokalan untuk memberikan waktu beristirahat para dalang dan bagian koor yang menyahut bacaan dalang.
“Kopi dan ketan itu memiliki makna agar kita bisa meniru atau mengkopi tindakan para nabi. Ketan bubuk itu artinya cakete soko tatanan (dekat dikarenakan ada aturan yang adil di masyarakat)” beber Tugiran Purwowiyono.
Pengaturan suara dalang dan suara penyambung
Selain memiliki iringan tetabuhan gendang dan terbangan, budaya gembrungan juga memiliki pengaturan nada yang dilantunkan dari penyampaian Kitab Barzanji, di mana ada peran dalang yang membuka cerita dan sahutan koor paduan suara lebih dari 10 orang.
Supriyanto (70), salah satu suara koor penghubung dalang mengatakan, dalam gembrungan terdapat 33 bagian atau “babak” di mana setiap bagian memiliki nada dan cerita tersendiri.
“Pembukaan dimulai dengan nada kalem, lambat, seakan melambangkan kelahiran dan awal kehidupan. Lalu nada mulai meningkat di pertengahan, menggambarkan masa muda dan perjuangan."
"Pada bagian akhir, nada kembali menurun, menggambarkan fase tua dan akhir kehidupan,” katanya.
Pada fase di mana menceritakan peperangan besar yang dihadapi Nabi Muhammad, dalang menyampaikan dengan suara meninggi dan melengking.
“Itu namanya ngelik, sampai habis itu suaranya karena tinggi sekali. Dulu benar-benar disekolahkan untuk bisa mencapai nada ngelik itu. Sekarang tidak ada lagi yang mempelajari cara bisa mempunyai nada tinggi seperti itu,” imbuh Supriyanto.
Dari 30 pemain gembrungan baik penabuh gendang maupun dalang dan rombongan koor penyahut dalang grop gembrungan di Desa Sambirobyong semuanya telah berusia lanjut.
Dari 3 kelompok gembrungan, 1 di antaranya tidak lagi menampilkan kesenian yang sarat makna tersebut karena sudah bubar tidak ada generasi penerusnya.
Saekun mengaku gembrungan bukan sebuah kesenian yang komersial sehingga minim peminat.
“Tampilnya ya hanya di lingkungan sendiri setiap maulid. Tidak ada yang nanggap,” katanya.
Untuk menampilkan gembrungan juga membutuhkan personil yang cukup banyak.
Guna menghasilkan lantunan kitab Barzanji serta iringan tetabuhan gendang dan terbangan yang ritmis juga butuh kekompakan.
“Dari 33 babak itu berbeda semua tabuhan maupun nada yang dilagukan. Menyesuaikan dengan alur yang dibangun."
"Seperti pembuka itu pelan, kemudian kelahiran Nabi Muhammad itu ritmenya juga beda, hingga nanti menerima wahyu, menyebarkan agama Islam sampai peperangan itu memiliki irama yang berbeda-beda,” terangnya.
Saekun mengaku butuh waktu cukup lama untuk bisa menguasai teknik pembacaan Barzanji hingga memainkan gendang maupun terbangan.
Padahal dia mengaku bisa menguasai sejumlah tari dan memainkan alat tetabuhan reog dan menguasai permainan gong dalam karawitan.
“Sejak tahun 1963 saya main gamberungan sampai sekarang. Saya memang suka dengan kesenian, baik reog, saya menari ganongan hingga main terompet sampai gendang bisa."
"Karawitan saya juga bisa main gong maupun gendang. Kalau di gembrungan itu memukul gendangnya harus dengan pernuh perasaan,” ujarnya.
Peran pemerintah Desa Sambirobyong
Kekhawatiran hilangnya seni gembrungan juga dirasakan pemerintah Desa Sambirobyong.
Sekretaris Desa Sambirobyong, Dwi Haryanto, mengaku pemerintah desa berubaya menjaga kelestarian seni gembrungan dengan memberi ruang setiap peringatan Maulid Nabi, bersih desa maupun memperingati pergantian tahun baru Islam atau bulan suro.
Pada momen-momen tersebut, grup gembrungan diberi kesempatan tampil di masjid lingkungan.
“Kita support untuk konsumsi setiap gembrungan tampil. Di gembrungan itu ada sajian khas kopi dengan ketan bubuk. Di sini ada 3 grop gembrungan, tapi tinggal 2 yang aktif karena tidak ada regenerasi,” ucapnya.
Sejumlah upaya regenerasi sudah diupayakan pemerintah desa dengan mengajak generasi muda belajar gembrungan, namun hingga saat ini baru segelintir pemuda yang mau belajar.
Rudy, salah satu pemuda Desa Sambirobyong, mengaku kesibukan menjadi faktor utama pemuda di desanya enggan meneruskan kelestarian kesenian gembrungan.
“Mayoritas kesibukan yang menjadi kendala. Seperti saat ini banyak pemuda di sini yang bekerja,” ucapnya.
Sore mulai beranjak di Desa Sambirobyong ketika Supriyanto mengakhiri bacaan Barzanji dengan lantunan solawat kepada Nabi Muhammad.
Mbah Saekun juga mulai mengemasi gendangnya yang telah berusai lebih dari 150 tahun, peninggalan grup gembrungan sebelumnya.
Terbangan besar dengan diameter 75 cm dari bonggol kayu kelapa yang sudah mulai sobek kulit sapinya juga dikemasi.
Mereka akan melantunkan Kitab Barzanji lagi pada kegiatan bersih desa tahun depan.
”Semoga kami diberi kesehatan untuk terus mengumandangkan sholawat kepada Nabi Muhamamd SAW,” pungkas Saekun.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/09/08/082308378/gembrungan-nada-sholawat-warisan-leluhur-di-desa-sambirobyong-magetan-yang