Guna menghasilkan lantunan kitab Barzanji serta iringan tetabuhan gendang dan terbangan yang ritmis juga butuh kekompakan.
Baca juga: Mengenal Didong, Kesenian dari Gayo: Pengertian, Sejarah, dan Tujuan
“Dari 33 babak itu berbeda semua tabuhan maupun nada yang dilagukan. Menyesuaikan dengan alur yang dibangun."
"Seperti pembuka itu pelan, kemudian kelahiran Nabi Muhammad itu ritmenya juga beda, hingga nanti menerima wahyu, menyebarkan agama Islam sampai peperangan itu memiliki irama yang berbeda-beda,” terangnya.
Saekun mengaku butuh waktu cukup lama untuk bisa menguasai teknik pembacaan Barzanji hingga memainkan gendang maupun terbangan.
Padahal dia mengaku bisa menguasai sejumlah tari dan memainkan alat tetabuhan reog dan menguasai permainan gong dalam karawitan.
“Sejak tahun 1963 saya main gamberungan sampai sekarang. Saya memang suka dengan kesenian, baik reog, saya menari ganongan hingga main terompet sampai gendang bisa."
"Karawitan saya juga bisa main gong maupun gendang. Kalau di gembrungan itu memukul gendangnya harus dengan pernuh perasaan,” ujarnya.
Kekhawatiran hilangnya seni gembrungan juga dirasakan pemerintah Desa Sambirobyong.
Sekretaris Desa Sambirobyong, Dwi Haryanto, mengaku pemerintah desa berubaya menjaga kelestarian seni gembrungan dengan memberi ruang setiap peringatan Maulid Nabi, bersih desa maupun memperingati pergantian tahun baru Islam atau bulan suro.
Pada momen-momen tersebut, grup gembrungan diberi kesempatan tampil di masjid lingkungan.
Baca juga: Apa Itu Kesenian Ludruk?
“Kita support untuk konsumsi setiap gembrungan tampil. Di gembrungan itu ada sajian khas kopi dengan ketan bubuk. Di sini ada 3 grop gembrungan, tapi tinggal 2 yang aktif karena tidak ada regenerasi,” ucapnya.
Sejumlah upaya regenerasi sudah diupayakan pemerintah desa dengan mengajak generasi muda belajar gembrungan, namun hingga saat ini baru segelintir pemuda yang mau belajar.
Rudy, salah satu pemuda Desa Sambirobyong, mengaku kesibukan menjadi faktor utama pemuda di desanya enggan meneruskan kelestarian kesenian gembrungan.
“Mayoritas kesibukan yang menjadi kendala. Seperti saat ini banyak pemuda di sini yang bekerja,” ucapnya.
Sore mulai beranjak di Desa Sambirobyong ketika Supriyanto mengakhiri bacaan Barzanji dengan lantunan solawat kepada Nabi Muhammad.
Mbah Saekun juga mulai mengemasi gendangnya yang telah berusai lebih dari 150 tahun, peninggalan grup gembrungan sebelumnya.
Terbangan besar dengan diameter 75 cm dari bonggol kayu kelapa yang sudah mulai sobek kulit sapinya juga dikemasi.
Mereka akan melantunkan Kitab Barzanji lagi pada kegiatan bersih desa tahun depan.
”Semoga kami diberi kesehatan untuk terus mengumandangkan sholawat kepada Nabi Muhamamd SAW,” pungkas Saekun.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang