“Sebelum masuk panti, nilai saya selalu jelek. Tapi setelah masuk, saya mulai berprestasi. Dari SMP sampai SMK, saya langganan juara dua di kelas,” kata pria kelahiran Trenggalek, 4 September 1990 ini.
Sebab, ia ingin membuktikan diri agar tidak bisa terus dipandang sebelah mata, apalagi saat berkumpul dengan keluarga besar.
“Setiap kumpul keluarga, saya sering diremehkan karena kami miskin. Saya doa tiap hari ‘Ya Allah, angkat derajat orangtua saya’. Itu yang jadi kekuatan saya,” sambungnya.
Selain itu, kehidupan di panti asuhan bukan tanpa tantangan. Ia mengaku sering tidak pecaya diri saat mendapat pandangan miring karena statusnya sebagai anak panti.
Bahkan, ia hampir menyerah dan meminta pulang. Tapi nasihat dari Pakde yang menancap kuat dalam hatinya kembali semangat untuk membuktikan diri agar tidak pernah padam.
“Luk, ada siang pasti ada malam. Ketika ada kesulitan, pasti ada kemudahan' Kalimat itu saya pegang terus,” ucap penuh emosi.
Baca juga: 40 Tahun Cinta I Wayan Nika, Mengayomi Anak-anak Bali di Panti Asuhan
Seiring berjalannya waktu menjadi anak panti, ia mendapat kepercayaan untuk mengambil donasi dari donatur yang ada di Kediri. Dengan mengayuh sepeda onthel milik panti asuhan sejauh belasan kilometer, dia menempuh pendidikan SMK.
“Setelah itu saya dapat fee 10 persen, saya tabung separuhnya, sisanya untuk kebutuhan sehari-hari. Setelah beberapa waktu, saya berhasil kumpulkan Rp 750.000 dan beli sepeda sendiri. Rasanya bangga sekali, karena itu hasil kerja keras saya sendiri,” tuturnya dengan senyum merekah.
Baca juga: 40 Tahun Cinta I Wayan Nika, Mengayomi Anak-anak Bali di Panti Asuhan
Setelah lulus SMK, Lukman Hakim sempat pulang ke Trenggalek. Namun, niatnya untuk kuliah kembali terbuka saat mendapatkan beasiswa dari Forum Panti Asuhan Muhammadiyah Aisyiyah (FORPAMA).
Ia pun kembali tinggal di asrama dan melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Surabaya, jurusan Teknik Elektro. Tetapi di tahun terakhir perkuliahan, ia harus mengambil cuti karena dana beasiswa tersendat.
Demi bisa menyelesaikan skripsi, ia bekerja sebagai kuli bangunan dan cleaning service. Tujuannya untuk membeli laptop bekas seharga Rp 1,8 juta agar dapat mengerjakan tugas akhir.
“Saya kerja delapan bulan. Gaji mingguan Rp 350.000, saya sisihkan Rp 300.000 untuk ditabung, sisanya untuk makan. Sebelumnya ngerjain skripsi numpang laptop teman atau ke warnet,” ujar seorang bapak dari satu anak itu.