Produksi yang baru berjalan tiga bulan ini masih dalam tahap adaptasi.
Dengan kapasitas produksi 300-500 toples per hari yang langsung habis, ia ingin menyiapkan stok untuk oleh-oleh Lebaran, tetapi belum bisa karena permintaan terus membanjir.
Saat ini, nastar apel masih dijual di toko sendiri dan melalui penjualan online. Namun, ke depannya, ia berharap bisa bekerja sama dengan toko oleh-oleh agar lebih banyak orang bisa menikmatinya.
Bahkan, seorang chef dari Malaysia sempat tertarik untuk membawa nastar apel ke Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia, tetapi untuk saat ini, ekspor masih di luar jangkauannya.
"Ini seperti bayi prematur produksi, masih tiga bulan, tapi saya ingin mempersiapkan sebaik mungkin agar bisa memenuhi pasar," kata Robiatun Hasanah optimistis.
Baca juga: INFOGRAFIK: Sejarah Nastar
Nastar apel produksinya hadir dalam empat varian kemasan, toples kotak, tabung dan boks.
Harganya mulai dari Rp 85.000 per toples sedangkan untuk bok Rp35.000 serta Rp100.000 untuk pembelian 3 boks.
Baginya, perjalanan ini adalah bukti bahwa doa dan kerja keras bisa membawa keberkahan.
Sebelum bermain di media sosial, seorang teman pernah bertanya apakah ia memiliki target dalam bisnis kue kering.
Baca juga: Banyak Tersaji Kala Lebaran, Bagaimana Asal-usul Nastar?
Saat itu, ia menjawab ingin menjual 10.000 pcs, meski tak tahu bagaimana caranya.
"Saya percaya kalau ini memang rezeki saya, pasti akan datang jalannya. Dan ternyata, pertengahan Ramadhan kemarin, sudah mencapai 5.000 pcs," kata perempuan berusia 52 tahun itu penuh syukur.
Perjalanan nastar apel masih panjang.
Dari sebuah ide sederhana, kini ia menjadi inovasi yang mengangkat nama Kota Batu ke kancah kuliner Indonesia.
Baca juga: Sejarah Nastar, Pie yang Dimodifikasi dalam Bentuk dan Isian
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang