Salin Artikel

Nastar Rasa Apel, Camilan Pembawa Berkah dari Kota Batu

KOTA BATU, KOMPAS.com - Di ruas jalan menuju Kota Batu, Jalan Raya Sengkaling Nomor 201, tepatnya di Rumah Kue Obby, sebuah inovasi kuliner lahir dari tangan Robiatun Hasanah.

Nastar apel, kue kering berbentuk apel yang unik ini bukan sekadar camilan biasa, melainkan simbol perjuangan, kreativitas, dan kecintaan terhadap daerah asalnya.

Berawal dari usaha kue tradisional, kue kering dan cake, ia selalu bermimpi menciptakan sesuatu yang bisa menjadi ikon oleh-oleh khas Kota Batu.

Ide itu mengendap dalam pikirannya hingga suatu saat, menjelang Natal 2024 lalu.

Awal mula inspirasi, perjalanan menuju kesempurnaan

Saat itulah, Robiatun teringat sebuah saran lama untuk mengombinasikan nastar dengan apel yang menajdi buah khas kota Batu.

Dengan penuh semangat, ia mulai bereksperimen menggunakan berbagai jenis apel, mulai dari apel ana, manalagi, hingga roombuti.

Sehingga dari semua percobaan itu, apel roombuti terbukti paling sempurna dengan keseimbangan rasa asam dan manis yang khas.

"Saya ingin orang menikmati apel dengan cara yang berbeda. Malang sudah terkenal dengan keripik apel, kenapa tidak ada nastar apel?" ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (27/3/2025) malam.

Tidak hanya dari segi rasa, bentuk pun menjadi perhatian utama.

Awalnya, nastar apel dibuat seperti nastar biasa, namun ia sadar bahwa konsumen mungkin akan kesulitan membedakan inovasinya.

Maka, ia memutuskan untuk membentuknya menyerupai apel mini dengan warna hijau kemerahan agar lebih ikonik dan mudah dikenali.

Menciptakan nastar apel bukan tanpa tantangan.

Dari segi adonan, ia harus menyesuaikan resep karena transisi dari produksi manual ke mesin tidak mudah.

"Butter sampai tiga kali ganti, rasanya harus pas. Mesin itu nggak bisa bekerja seperti tangan, kalau nggak sempurna, saya harus buang adonan. Awal Ramadhan, saya sampai stres karena banyak yang terbuang. Saya sempat hampir menyerah, tapi saya 'ngeyelan', kalau belum ketemu yang pas, saya nggak bisa tidur," kenang perempuan yang biasa disapa Robiatun.

Tidak hanya soal rasa dan adonan, pewarnaan juga menjadi tantangan tersendiri.

Tak bisa menggunakan teknik semprot karena seratnya akan hilang, pewarnaan harus dilakukan satu per satu dengan kuas.

"Effort-nya di situ, karena kalau pakai semprotan, hasilnya kurang bagus," imbuhnya.

Ketika pertama kali diluncurkan pada 15 Desember 2024, Robiatun hanya mampu memproduksi 51 toples sehari secara manual.

Namun, setelah viral di media sosial, khususnya TikTok, permintaan meningkat pesat.

Kini, dengan bantuan mesin, Rumah Kue Obby mampu memproduksi hingga 500 toples sehari.

"Liburan tahun baru, ada hampir 50 orang datang ke toko saya cari nastar apel, dan kami nggak bisa memenuhi semua permintaan. Kasihan mereka sudah jauh-jauh datang," kata perempuan yang sudah 25 tahun itu menggeluti bisnis kue.

Penjualan online pun berkembang pesat.

Live TikTok menjadi strategi utama, dengan penjualan mencapai 300 hingga 350 pax dalam satu sesi live.

Bahkan, melalui program afiliasi, dalam satu kesempatan, lebih dari 400 toples terjual.

Selain menjadi primadona baru dalam dunia oleh-oleh, nastar apel juga memberi manfaat bagi para petani apel Malang.

Jika sebelumnya ia hanya membeli 4 kg apel per hari, kini kebutuhannya meningkat drastis hingga 1-2 kuintal per hari.

Ini menjadi bukti bahwa inovasi kuliner juga bisa berkontribusi pada sektor pertanian lokal.

"Saya ingin petani apel juga merasakan manfaat dari tingginya permintaan ini," sambungnya.

Harapan, rencana dan keajaiban sebuah doa

Menjelang hari raya Idul Fitri, tantangan baru muncul.

Produksi yang baru berjalan tiga bulan ini masih dalam tahap adaptasi.

Dengan kapasitas produksi 300-500 toples per hari yang langsung habis, ia ingin menyiapkan stok untuk oleh-oleh Lebaran, tetapi belum bisa karena permintaan terus membanjir.

Saat ini, nastar apel masih dijual di toko sendiri dan melalui penjualan online. Namun, ke depannya, ia berharap bisa bekerja sama dengan toko oleh-oleh agar lebih banyak orang bisa menikmatinya.

Bahkan, seorang chef dari Malaysia sempat tertarik untuk membawa nastar apel ke Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia, tetapi untuk saat ini, ekspor masih di luar jangkauannya.

"Ini seperti bayi prematur produksi, masih tiga bulan, tapi saya ingin mempersiapkan sebaik mungkin agar bisa memenuhi pasar," kata Robiatun Hasanah optimistis.

Nastar apel produksinya hadir dalam empat varian kemasan, toples kotak, tabung dan boks.

Harganya mulai dari Rp 85.000 per toples sedangkan untuk bok Rp35.000 serta Rp100.000 untuk pembelian 3 boks.

Baginya, perjalanan ini adalah bukti bahwa doa dan kerja keras bisa membawa keberkahan.

Sebelum bermain di media sosial, seorang teman pernah bertanya apakah ia memiliki target dalam bisnis kue kering.

Saat itu, ia menjawab ingin menjual 10.000 pcs, meski tak tahu bagaimana caranya.

"Saya percaya kalau ini memang rezeki saya, pasti akan datang jalannya. Dan ternyata, pertengahan Ramadhan kemarin, sudah mencapai 5.000 pcs," kata perempuan berusia 52 tahun itu penuh syukur.

Perjalanan nastar apel masih panjang.

Dari sebuah ide sederhana, kini ia menjadi inovasi yang mengangkat nama Kota Batu ke kancah kuliner Indonesia.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/03/29/204904678/nastar-rasa-apel-camilan-pembawa-berkah-dari-kota-batu

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com