Di sisi lain, Mbok Randa menunggu kepulangan gajah putihnya. Namun sudah hampir satu bulan gajah putih itu tidak kembali.
Mbok Randa lantas pergi ke Padepokan Sinawang. Saat bertemu, Menak Sopal meminta maaf dan menyampaikan kondisi sebenarnya.
Namun Mbok Randa tidak percaya dan marah besar kepada Menak Sopal. Sedangkan Menak Sopal memilih untuk melarikan diri.
Mbok Randa lantas menemui Ki Ageng Sinawang. Rupanya, Mbok Randa mendapatkan penjelasan yang sama dari Ki Ageng.
Setelah mengetahui gajahnya disembelih untuk keperluan masyarakat, Mbok Randa pun ikhlas dan tidak marah lagi.
Kemudian, Ki Ageng Sinawang berkata bahwa jika nanti Padepokan Sinawang ramai, agar diberi nama Teranging Galih, yang kemudian menjadi Trenggalek.
Daerah Trenggalek diyakini sudah dihuni manusia sejak masa prasejarah.
Bukti anggapan itu dapat dilihat dari beberapa artefak yang ditemukan, seperti Menhir, Mortar, batu Saji, Palinggih Batu, dan sebagainya.
Anggapan tersebut berdasarkan pada lokasi Trenggalek yang dekat dengan daerah Wajak, Tulunggangung yang sudah dihuni sejak 8.000 tahun yang lalu.
Para ahli memberi nama manusia purba yang hidup di daerah Wajak ini dengan nama Homo Wajakensis.
Adapun hari jadi Kabupaten Trenggalek ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 1194 Masehi, berdasarkan Prasasti Kamulan yang ditemukan di daerah ini.
Sedangkan pemerintahan Kabupaten Trenggalek modern mulai berdiri sejak Perjanjian Gianti tahun 1755 yang membuat Mataram Islam menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Sejak itu, daerah Kabupaten Trenggalek masuk dalam wilayah Kasunanan Surakarta.
Pada tahun 1830 atau setelah Perang Diponegoro, Trenggalek memperoleh bentuknya yang nyata sebagai wilayah administrasi pemerintahan di bawah Hindia Belanda.
Julukan Kabupaten Trenggalek adalah Kota Gaplek, yaitu makanan khas daerah tersebut.