LUMAJANG, KOMPAS.com - Nama Almarhum KH. Adnan Syarif, Lc. M.A mungkin masih asing di telinga beberapa warga Nahdliyin.
Namun siapa sangka, kiai yang berasal dari kota kecil di bawah kaki Gunung Semeru ini melahirkan sebuah syair selawat yang biasa digemakan warga NU.
Baca juga: Resepsi 1 Abad NU, 99 Ulama Berdoa Khusus agar Tidak Hujan
Syair yang dimaksud adalah selawat Uhudiyah. Konon, syair ini adalah permintaan langsung dari Ketua Umum PBNU periode 1984-1999 KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur.
Permintaan itu bukan tanpa alasan. Gus Dur yang memimpin PBNU di tengah masa Orde Baru merasa gelisah dengan perkembangan perilaku masyarakat Indonesia termasuk para tokoh agama yang pragmatis.
Selawat Uhudiyah sengaja dimintanya, agar masyarakat khususnya para kiai mengingat perjuangan berdarah Nabi Muhammad SAW dalam Perang Uhud.
Baca juga: Resepsi 1 Abad NU, Muhammadiyah Siapkan Tempat Istirahat hingga Makanan Gratis untuk Nahdliyin
Dalam Perang Uhud, umat muslim diketahui mengalami kekalahan dari kaum Quraisy.
Tidak hanya itu, Perang Uhud juga merenggut nyawa paman nabi sekaligus panglima perang yang dijuluki sebagai singa Allah yakni Hamzah bin Abdul Mutholib.
Kekalahan perang yang awalnya dimenangkan kaum muslimin ini disebabkan adanya sahabat yang tidak mematuhi perintah Rasul untuk tetap bersiaga di Gunung Uhud sebagai pasukan pemanah.
Ketua Yayasan Pondok Pesantren Kyai Syarifudin, KH. Dr. Abdul Wadud Nafis mengatakan, selawat Uhudiyah dibuat dengan maksud mengingatkan masyarakat Indonesia khususnya warga Nahdliyin bahwa berjuang itu tidak mudah.
"Perang paling fenomenal dalam sejarah penyebaran islam ini kan perang uhud. Kita dilihatkan gambaran pragmatisme umat muslim saat itu yang berakibat kekalahan perang. Ini yang dirasakan Gus Dur saat itu melihat bangsa ini," kata Gus Wadud di Lumajang, Senin (6/2/2023).
Gus Wadud bercerita, untuk menciptakan syair selawat Uhudiyah, KH. Adnan Syarif tidak pernah meninggalkan musala kecil di kompleks Ponpes Syarifudin selama tujuh hari lamanya.
Beliau tidak berkenan ditemui siapa pun termasuk keluarga dan para santri-santrinya.
"Saya ingat waktu itu Dzulhijjah, mulai hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) ditambah empat hari setelahnya beliau tidak keluar sama sekali. Tidak mau diganggu oleh siapa pun saat membuat syair tersebut," cerita Gus Wadud.
Baca juga: Simak, Ini Rekayasa Lalu Lintas Saat Resepsi Puncak 1 Abad NU di GOR Sidoarjo
Kiai Adnan ternyata bukan satu-satunya orang yang menyodorkan syair selawat kepada Gus Dur. Namun, semua syair buatan ulama dan sastrawan kala itu ditolak Gus Dur.
"Nek koyok ngene aku yo iso gawe dewe (kalau seperti ini syairnya aku juga bisa buat sendiri)," tutur Gus Wadud menirukan Gus Dur saat menolak usulan syair selawat Uhudiyah buatan para kiai dan sastrawan.