Aisyah bagian kerja berat, sementara suaminya membantu menyiapkan peralatan, menambal dan mengisi angin.
“Saya memilih tambal ban daripada warung. Awalnya suami melarang tetapi saya melihat dia capek jadi saya mau bantu.
"Saya belajar sendiri. Saya bilang ke suami bagian nyupir saja, saya yang kerja, suami duduk sambil nangis,” terangnya.
Baca juga: Lika-liku Relawan Ranjau Paku: Diancam Tukang Tambal Ban hingga Dilaporkan ke Polisi
Bekerja sebagai tukang tambal ban truk tentu tak mudah bagi Aisyah. Ia mengalami keram di sebagian anggota tubuhnya. Kaki dan pahanya sudah pernah tertimpa pelek dan mesin diesel hingga terasa sakit.
“Saya gak ke dokter, cuma pijat-pijat saja. Kerja ini harus teliti, salah langkah bisa meledak bannya, tangan suami saya patah itu karena ban meledak,” tuturnya.
Memiliki penghasilan tak tentu sekitar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per hari, ia bertahan untuk biaya hidup dan membayar sisa-sisa cicilan.
Sebagian lagi, ia kirim ke kampung halaman.
“Anak-anak juga pengertian sekali. Mereka gak pernah merengek minta apa-apa dan bilang, ‘ibu itu sudah capek bekerja’,” ia mengingat perkataan si sulung yang berusia 15 tahun.
Berawal dari iseng dan sekadar ingin berbagi cerita, Aisyah bersyukur mendapat sedikit tambahan pendapatan dari aktivitasnya di media sosial.
“Saya live itu awalnya gak tahu kalau ada uangnya. Karena saya cuma pengin cerita, saling berbagi semangat ke orang-orang, tapi buat saya bersyukur lagi,” katanya.
Baginya, senyum anak-anaknya yang menyambut saat pulang bekerja membuatnya lebih kuat menghadapi tantangan hidup.
Baca juga: Tukang Tambal Ban Digeruduk Ojol, Diduga Sebar Ranjau Paku di Jalan MT Haryono
“Saya tidak minta dibahagiakan anak atau suami, saya bisa membahagiakan diri sendiri dengan cara bersyukur dengan apa yang Tuhan kasih ke saya,” ujarnya.
Senyumnya tak pernah turun dari garis bibirnya meski setiap hari puluhan kilo besi yang ia angkat.
Berinteraksi dengan penonton di media sosial justru membuatnya lebih semangat dalam bekerja.
Mimpinya, ia ingin membelikan sebuah rumah yang layak untuk orang tuanya di kampung. Tidak lagi kayu tipis dan atap seng yang menyelimuti mereka dalam suhu dingin.
“Saya ingin ibu-ibu di luar sana juga semangat. Sayangi orang tua terutama ibu selagi masih ada. Saya pun bekerja seperti ini untuk orang tua saya."
"Saya juga pengin anak-anak saya sekolah dengan baik,” ungkap perempuan lulusan sekolah dasar (SD) tersebut.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang