Faktor ekonomi dan waktu terbatas membuatnya harus rela menitipkan si bungsu ke kampung halaman sejak usianya baru dua bulan. Sudah tak terhitung untaian rindu yang ingin ia segera peluk.
Meski begitu, ia merasa bangga menjalani profesi sebagai tukang tambal ban. Ia tidak hanya menjadi mandiri tetapi juga bersyukur bisa menghidupi dan merawat anak-anaknya.
“Karena profesi ini saya bisa menjadi seorang ibu, bisa menjadi seorang istri, dan bisa cari uang juga,” ungkapnya dengan bangga.
Sebelum menjadi tukang tambal ban truk, Aisyah pernah bekerja sebagai buruh pabrik plastik dan sparepart dengan gaji Rp 40.000 hingga Rp 70.000 per hari delapan jam kerja.
Baca juga: Junaedi, 35 Tahun Jadi Tukang Tambal Ban, Mampu Kuliahkan Anaknya
Namun, saat ia bekerja sebagai buruh pabrik, ia tak tega meninggalkan anak-anaknya mengurus diri di rumah sehingga memutuskan resign.
“Gini pun kalau sebelum berangkat nambal, saya pastikan dulu anak-anak sarapan dan berangkat sekolah, baru saya berangkat kerja,” tuturnya.
Suaminya juga bekerja serabutan sebagai pegawai tambal ban dan kuli bangunan.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk mengambil pinjaman ke bank dengan nominal Rp 15.000.000 untuk modal membuka bengkel tambal ban.
Tak berjalan mulus, Rp 15.000.000 tak cukup karena harga alat-alat yang mahal. Berjalan seadanya, tak banyak pelanggan yang mampir dan usaha mereka perlahan merosot.
Sempat putus asa, Aisyah dan suaminya pulang kampung ke Karawang untuk meminta doa orang tua.
Setelahnya, mereka kembali ke Surabaya dan memberanikan diri mengambil pinjaman lagi Rp 50.000.000 untuk melengkapi alat dan membeli mobil pick up bekas.
“Sekarang pun masih ada utangnya. Kurang satu tahun lagi lumas, semoga,” ujarnya dengan perasaan sedikit lega.
Dari pinjaman tersebut, Aisyah juga membuka usaha warung nasi kecil-kecilan.
Baca juga: Kisah Alfian, Mahasiswa Tunanetra Anak Tukang Tambal Ban Lulus S2 Unair
Pada saat ia mulai memiliki banyak pelanggan, ujian kembali datang.
Suaminya, mengalami kecelakaan kerja dan patah tulang hingga melemah. Aspriyanto tak mampu mengangkat beban berat. Ia tak menjalani operasi, hanya berobat secara tradisional.
“Kami punya BPJS, tapi kami pernah kecewa ke rumah sakit, suami saya dikata ODGJ karena kecelakaan kerja sebelumnya pas jadi kuli."
"Dokternya gak percaya kalau indra penciuman hidungnya gak berfungsi gara-gara jatuh terus giginya nancap. Di sisi lain, kalau operasi kami tidak bisa bekerja,” tuturnya.
Akhirnya, Aisyah memutuskan berhenti berjualan nasi dan membantu suaminya mencari uang dengan menambal ban truk.