BANYUWANGI, KOMPAS.com - Seorang suporter fanatik klub sepak bola Arema FC yang dijuluki Aremania, mengungkapkan perasaannya setelah menjadi salah satu korban tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Dia adalah Edi Sutrisno, Aremania asal Banyuwangi, Jawa Timur. Ia menceritakan rasa trauma yang dialami meski tragedi telah berlalu tiga tahun.
"Setelah kejadian tiga tahun lalu, saya dan keluarga belum pernah lagi menginjak Stadion Kanjuruhan," kata Edi, Rabu (1/10/2025).
Masih ada trauma yang membekas di hati dan ingatannya bagaimana saat ia berangkat dengan gembira untuk menyaksikan tim kesayangannya yang kala itu melawan Persebaya Surabaya.
Namun fakta yang dihadapi justru sebaliknya. Ia dihadapkan pada situasi mencekam.
Permasalahan yang dipicu penanganan yang dianggap tidak tepat oleh steward kepada suporter, membesar menjadi kerusuhan dan tembakan gas air mata oleh polisi ke tribune penonton.
Baca juga: Massa Aksi Tragedi Kanjuruhan Nyala Lilin di Komnas HAM Sebelum Bubarkan Diri
Salah satunya ke tribune 13, yang dilihat Edi, gas air mata berulang kali disemprotkan ke sana.
Sementara posisi Edi bersebelahan dengan Gate 13, sangat terpengaruh karena asap gas air mata tersapu angin dan mengarah ke sekitarnya.
"Meski tidak tersemprot langsung, tapi efeknya sangat terasa. Itu sangat pedih di mata dan membuat sesak napas," tuturnya.
Dalam situasi yang kian tak karuan, Edi melihat istrinya yang mulai sesak napas dan nyaris pingsan, namun mengerahkan segala kekuatannya agar tetap kuat berdiri.
Ia melihat suporter berdesakan di pintu keluar dan mengambil keputusan untuk melompat dari tribune. Ia mendahulukan istrinya melompat.
Sementara itu di bawah bagian luar, sejumlah aremania telah siap membantu satu per satu.
Berkat upayanya serta pertolongan sesama Aremania, Edi dan istrinya yang telah sesak napas dan hampir pingsan dapat selamat, meski harus terluka karena benturan.
Sementara itu korban meninggal dunia, disebut Edi, mayoritas karena sesak napas dampak gas air mata, dan terinjak-injak saat berupaya keluar dari stadion.
Baca juga: Dari Ruang Kelas, Seorang Guru Ikut Hadirkan Bentuk Perjuangan Tragedi Kanjuruhan melalui Film
Peristiwa tersebut meninggal trauma. Edi mengungkapkan, sesekali trauma itu masih menghantuinya.
"Saat melihat keramaian dan di situ ada polisi, seperti saat demo. Saat di stadion, masih punya rasa sedikit kesal dan jengkel dengan polisi yang saat itu terlalu represif terhadap Aremania," ujar Edi mengungkapkan saat-saat traumanya datang.
"Selama 25 tahun jadi suporter, separah-parahnya kerusuhan di dalam stadion di Indonesia, tidak pernah ada korban jiwa. Jadi diharapkan bapak-bapak polisi jangan terlalu represif, pendekatan persuasif dan humanis akan lebih efektif," sambungnya.
Kini, ia pun memilih untuk menghindari keramaian, dan kini memilih untuk mendukung Arema lewat tontonan streaming.
Sementara untuk rencana menyambangi kembali Stadion Kanjuruhan, terbersit keinginan tersebut di dalam hatinya, meski ia belum tahu kapan dapat merealisasikannya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang