LUMAJANG, KOMPAS.com - Riuh tawa bahagia 630 calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (PPPK) menyelimuti pemandian alam Selokambang di Desa Purwosono, Kecamatan Sumbersuko, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Selasa (17/6/2025) pagi.
Senyum semringah merekah di setiap bibir peserta pelantikan yang hadir. Cita-cita menjadi abdi negara akhirnya terwujud.
Namun, di tengah suka cita yang meluap, ada ruang yang sengaja dibiarkan kosong dalam barisan peserta.
Ya, tempat itu milik Sekar Miadiarti (34), calon PPPK yang tak bisa hadiri hari bahagianya karena lebih dulu dipanggil untuk menghadap Sang Maha Kuasa.
Baca juga: Guru PPPK di Buleleng Mengeluh Tunjangan Belum Cair, Sekda Ungkap Penyebabnya
Jauh di pojok barisan, tampak seorang ibu berbaju hitam yang tidak henti-hentinya terisak sambil menyeka air mata yang terus membasahi pipinya.
Ibu itu bernama Djayeng, mertua almarhumah. Ia sengaja datang untuk mewakili sang putri menjemput cita-cita yang tinggal selangkah lagi digapai.
Djayeng bercerita, sepasang seragam putih hitam sudah tergantung rapi di kamar Sekar. Ia baru saja menyetrika baju itu untuk dipakainya hari ini.
Kemarin sore, di saat ia selangkah lagi mencapai impiannya, takdir menjemput Sekar dan buah hatinya yang belum sempat melihat dunia.
Komplikasi plasenta yang terputus mengakhiri semua harapan yang telah ia rajut selama 10 tahun mengabdikan diri di SMPN 1 Candipuro sebagai guru honorer.
Saat menghembuskan napas terakhirnya, Sekar sedang berjuang, bukan hanya untuk SK PPPK yang jadi impiannya, melainkan juga untuk sang buah hati yang ingin dilihat senyumnya.
"Sebenarnya enggak sakit, pagi itu masih ngajar, tapi kemarin sore tiba-tiba dia enggak kuat perutnya sakit, akhirnya sama anak saya (suami almarhumah) langsung dibawa ke rumah sakit, tapi akhirnya meninggal dunia, katanya plasentanya terputus," kata Djayeng mengenang perjuangan terakhir Sekar, Selasa (17/6/2025).
Baca juga: Cerita Bu Susi, Guru Honorer SD Jadi Korban Pungli Rp 55 Juta untuk Jadi PPPK
Di rumahnya, 20 kilometer dari lokasi pelantikan, seragam putih hitam yang telah disetrika dan digantung dengan hati-hati itu kini menjadi monumen bisu bagi sebuah janji yang tak kesampaian.
Ia telah mempersiapkan segalanya, baik mental, fisik, hingga seragam kebesaran itu. Sekar siap untuk hari besar ini.
Kepergian Sekar hanya sehari sebelum pelantikan bak petir di siang bolong, meninggalkan duka mendalam yang menyelimuti keluarga, kerabat, dan bahkan rekan-rekan seperjuangannya yang hari ini dilantik.
Mereka yang mengenal Sekar tahu betapa kerasnya ia berjuang, melewati setiap tahapan seleksi dengan penuh dedikasi.