Editor
KOMPAS.com – Nama Jan Hwa Diana, pemilik CV Sentoso Seal (CV SS), di Surabaya, Jawa Timur, mendadak menjadi sorotan publik belakangan ini setelah perusahaannya dituding menahan ijazah puluhan mantan karyawan dan terlibat konflik dengan Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji.
Kasus yang awalnya berakar dari keluhan seorang mantan karyawan, kini telah menyeret Diana dan suaminya ke pusaran hukum hingga mengenakan rompi tahanan.
Baca juga: Polisi Ungkap Motif Jan Hwa Diana dan Suami Rusak Mobil Milik Kontraktor
Kisah bermula dari laporan Nila Handiani, mantan karyawan CV SS, yang mengaku ijazah SMA-nya masih ditahan meski telah lama berhenti bekerja.
“Saya ingin ijazah saya kembali karena saya sangat membutuhkannya untuk mencari pekerjaan lain,” ujar Nila saat melapor ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak, 14 April 2025.
Baca juga: Jan Hwa Diana Tersangka Perusakan Mobil, Armuji: Tidak Boleh Arogan
Laporan Nila ini kemudian memicu aksi Armuji, melakukan inspeksi mendadak ke gudang CV SS pada 9 April 2025.
Namun upaya Armuji tak berjalan mulus. Ia mengaku dihalangi masuk dan bahkan dituduh sebagai penipu oleh pihak perusahaan.
“Saya sudah mencoba menelepon pihak perusahaan, tapi malah dituduh sebagai penipu. Bahkan saya tidak dianggap sebagai Wakil Wali Kota. Ini sangat disayangkan,” kata Armuji.
Tak terima, pemilik perusahaan, Jan Hwa Diana, justru balik melaporkan Armuji ke Polda Jawa Timur dengan tuduhan pelanggaran UU ITE.
“Saya ini Wakil Wali Kota Surabaya, kok dibilang penipu. Saya akan tempuh jalur hukum juga,” tegas Armuji dalam unggahan Instagram pribadinya pada 11 April 2025.
Masalah terus bergulir. Penyegelan gudang CV SS dilakukan Pemkot Surabaya pada 6 Mei 2025 setelah ditemukan dugaan pelanggaran perizinan, terutama tidak adanya Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Tanda Daftar Gudang (TDG).
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan, penyegelan dilakukan karena perusahaan tidak memiliki dokumen perizinan yang lengkap.
“Ini dua hal yang berbeda. Kalau yang lapor polisi mungkin mengarah ke pidana, sedangkan kami (Pemkot) mengarah ke perizinan. Ini dua hal yang berbeda namun dalam satu rangkaian perkara,” ujar Eri.
Merasa dizalimi, Jan Hwa Diana melaporkan Pemerintah Kota Surabaya ke Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur.
Dalam laporan itu, Diana mengklaim telah mengurus izin TDG sejak 30 April 2025 namun belum juga diterbitkan hingga 5 Mei.
“Tetapi sampai hari ini (Rabu) belum dikeluarkan izinnya, saya minta segel gudang saya dicabut demi keadilan,” kata Diana di kantor Ombudsman Jatim, Kamis (8/5/2025).
Sementara, Kepala Ombudsman RI Jawa Timur, Agus Muttaqin, membenarkan adanya laporan tersebut.
“Kenapa gudang lain yang tidak ada TDG tidak langsung disegel dan diberi kesempatan tiga hari tanpa disegel untuk mengurus TDG. Bu Diana mohon keadilan atas kejadian ini,” ujar Agus.
Namun nasib buruk belum berhenti menghampiri Diana. Ia dan suaminya, Handy Sunaryo, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perusakan kendaraan milik seorang kontraktor bernama Paul Stephnus di Jalan Prada, Dukuh Pakis, Surabaya.
Pasangan suami istri ini mengenakan rompi tahanan bertuliskan “TAHANAN JATANRAS” di Mapolrestabes Surabaya.
Wakasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKP Rahmad Aji Prabowo mengatakan, Diana mengenal korban, Paul Stephnus karena mengerjakan pemasangan kanopi di atap rumahnya
"Motifnya berawal dari pelapor (Paul) adanya hubungan kerja sama pembangunan kanopi, dari pelapor dan tersangka (Diana dan Handy)," kata Rahmad, di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (9/5/2025).
Akan tetapi, Diana dan suaminya secara mendadak memutuskan kerja sama.
Akhirnya, Diana dengan korban sempat terlibat pertengkaran di lokasi.
Selanjutnya, Diana bersama suaminya, merusak mobil korban. Peristiwa tersebut pun dilaporkan ke Polrestabes Surabaya, Sabtu (19/4/2025).
Polisi menetapkan Diana dan Handy sebagai tersangka, terkait Pasal 170 KUHP dan atau 406 KUHP juncto 55 KUHP, tentang perusakan barang.
Sementara itu, jumlah pelapor penahanan ijazah kian bertambah.
Sebanyak 31 mantan karyawan CV SS secara kolektif melapor ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak pada 17 April 2025.
Mereka menyebut perusahaan mewajibkan penitipan ijazah atau membayar uang jaminan sebesar Rp 2 juta jika menolak. (Penulis: Kontributor Surabaya Andhi Dwi Setiawan, , Azwa Safrina, Rachmawati)
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang