Ia mengaku merasa cemas, takut, dan malu jika masalahnya diketahui oleh orang-orang terdekatnya.
"Secara psikologis, saya merasa cemas dan tentunya takut, yang memengaruhi kondisi saya dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Saya juga merasa malu dan takut kalau suatu waktu diketahui orang-orang terdekat," kata Wulan.
Beruntung, Wulan mendapat bantuan dari kakak sepupunya untuk melunasi pinjaman tersebut.
Walau demikian, ia tetap memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan uang bantuan tersebut kepada keluarganya.
Dari pengalamannya, Wulan berharap mahasiswa lain bisa belajar dan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan finansial.
"Saya ingin menyampaikan bahwa penggunaan pinjol bukan solusi untuk masalah keuangan, apalagi jika digunakan tanpa pertimbangan matang," tegas Wulan.
Ia juga menyarankan agar pemerintah, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memperketat regulasi terhadap layanan pinjol, termasuk pengawasan terhadap suku bunga, transparansi kontrak pinjaman, dan pembatasan akses data pribadi.
"Edukasi literasi keuangan juga harus ditingkatkan, terutama di kalangan mahasiswa dan masyarakat yang rentan, agar mereka memiliki pemahaman yang cukup sebelum mengambil keputusan," tambahnya.
Wulan mengakui bahwa pengalaman ini memberikan pelajaran penting bahwa solusi keuangan jangka pendek seperti pinjol sebaiknya hanya digunakan dalam kondisi yang benar-benar darurat.
"Kemudahan akses yang cepat seringkali disertai dengan risiko yang sangat besar, seperti bunga yang tinggi, denda yang memberatkan, dan metode penagihan yang tidak manusiawi," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang