SURABAYA, KOMPAS.com - Perangkap utang online telah menjerat banyak mahasiswa di berbagai kota, termasuk Surabaya.
Salah satunya adalah Wulan (22), mahasiswi semester 8 di salah satu universitas di Surabaya. Dia harus menghadapi konsekuensi berat akibat keputusan menggunakan pinjaman online (pinjol).
Ditemui Kompas.com, Rabu (16/4/2025), Wulan mengaku bahwa awalnya ia tertipu oleh orang tidak dikenal dengan nominal Rp 2 juta.
Karena merasa tidak ingin rugi dan tertekan oleh pihak penipu, ia kemudian memutuskan menggunakan layanan pinjol.
"Awalnya saya ditipu dengan nominal Rp 2 juta. Saya gunakan uang pribadi. Lalu karena merasa tidak mau rugi dan merasa ditekan juga oleh pihak penipu, saya disarankan untuk mengambil pinjol," ungkap Wulan.
Baca juga: Ketika Pinjol Jadi Jalan Terakhir: Kisah Warga Banyuwangi dan Upaya RT Sulastri Membentenginya
Ia memilih aplikasi GoPay Pinjam karena kemudahan persyaratan yang hanya meminta KTP dan proses pencairan yang cepat.
Menurut Wulan, proses dari pengajuan hingga pencairan hanya membutuhkan waktu sekitar 3-5 menit.
"Saya merasa di GoPay Pinjam ini pengajuannya sangat mudah dan pencairannya pun juga cepat. Saya cuma diminta KTP saja, lalu verifikasi wajah," tuturnya.
Baca juga: Cerita Perempuan Terjerat Pinjol, Korban Butuh Teman dan Lingkungan Baru yang Sehat
Konsekuensi telat membayar tagihan tidak hanya berupa denda harian sebesar Rp 4.000, tetapi juga teror penagihan dari debt collector (DC) melalui WhatsApp.
Wulan mengaku mengalami tekanan psikologis akibat ancaman pencemaran nama baik yang ditujukan padanya.
"Ancamannya itu berupa pencemaran nama baik. Bahkan kontak darurat pun juga ikut diancam," jelas Wulan.
Situasi semakin sulit karena Wulan belum memiliki penghasilan tetap.
Meskipun menerima beasiswa KIP-K, ia mengaku beasiswa tersebut hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bukan untuk melunasi pinjaman.
"Ya sulit, karena saya belum memiliki penghasilan yang tetap," keluhnya.
Tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, terjerat pinjol juga memengaruhi kesehatan mental Wulan.
Ia mengaku merasa cemas, takut, dan malu jika masalahnya diketahui oleh orang-orang terdekatnya.
"Secara psikologis, saya merasa cemas dan tentunya takut, yang memengaruhi kondisi saya dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Saya juga merasa malu dan takut kalau suatu waktu diketahui orang-orang terdekat," kata Wulan.
Beruntung, Wulan mendapat bantuan dari kakak sepupunya untuk melunasi pinjaman tersebut.
Walau demikian, ia tetap memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan uang bantuan tersebut kepada keluarganya.
Dari pengalamannya, Wulan berharap mahasiswa lain bisa belajar dan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan finansial.
"Saya ingin menyampaikan bahwa penggunaan pinjol bukan solusi untuk masalah keuangan, apalagi jika digunakan tanpa pertimbangan matang," tegas Wulan.
Ia juga menyarankan agar pemerintah, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memperketat regulasi terhadap layanan pinjol, termasuk pengawasan terhadap suku bunga, transparansi kontrak pinjaman, dan pembatasan akses data pribadi.
"Edukasi literasi keuangan juga harus ditingkatkan, terutama di kalangan mahasiswa dan masyarakat yang rentan, agar mereka memiliki pemahaman yang cukup sebelum mengambil keputusan," tambahnya.
Wulan mengakui bahwa pengalaman ini memberikan pelajaran penting bahwa solusi keuangan jangka pendek seperti pinjol sebaiknya hanya digunakan dalam kondisi yang benar-benar darurat.
"Kemudahan akses yang cepat seringkali disertai dengan risiko yang sangat besar, seperti bunga yang tinggi, denda yang memberatkan, dan metode penagihan yang tidak manusiawi," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang