PASURUAN, KOMPAS.com - Di tengah gerimis kecil yang mengguyur wilayah Pasuruan, Akhmad Khudori (60), penjual nasi goreng, dengan wajah tenang melayani antrean pelanggan di Depot Sri Mulya yang terletak di Jalan Veteran, Kelurahan Pekuncen, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan.
"Injih pak, mau pesan apa, bungkus atau dahar mriki (makan di sini)?" tanyanya sambil tersenyum, Kamis (27/02/2025).
Dengan bantuan karyawannya, Aminullah, Khudori menyiapkan nasi putih dan mi untuk dimasak menjadi nasi goreng dan mi goreng.
Ia juga mengiris daging ayam matang dengan ukuran kecil-kecil.
Baca juga: Monumen Cinta Sejati Habibie Ainun, Simbol Kasih Sayang Abadi yang Jadi Ikon Kota Parepare
Kepulan asap dari wajan berdiameter 70 sentimeter terlihat jelas, disertai suara minyak mendidih yang menandakan bahwa nasi putih dan bumbu siap dimasak.
"Oh ya pak. Mau minum apa. Oh kayake lama ga ke sini ya," tanya Khudori kepada salah satu pelanggan setianya.
Di bagian belakang depot, Mulyati (55), istri Khudori, terlihat sibuk membuat teh dan jeruk hangat untuk para pelanggan.
Dengan hati-hati, ia menyeduh teh dan memeras jeruk nipis agar tidak tumpah. "Monggo pak, minumnya ini," ujarnya sambil membawa dua gelas minuman.
Tak lama kemudian, Khudori menyusul istri menuju meja dengan membawa dua piring berisi nasi goreng dan mi goreng. "Monggo pak," katanya.
Pelanggan sedang menikmati masakan cap jay di depot Sri Mulya di Jalan Veteran No.16 Kelurahan Pekuncen, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan, Kamis (27/02/2025).Sembari menunggu masakan matang, Khudori menceritakan bahwa usaha mi ini dirintis sejak menikah dengan Mulyati pada tahun 1987.
Berbekal pengalaman sebagai juru masak mi goreng di Pasar Poncol pada era 80-an, ia memutuskan untuk membuka depot mini.
"Karena saat itu saya ikut juragan jualan mi. Tapi setelah menikah, saya pamit untuk membuka warung atau depot mini ini. Nekat lah," ujarnya.
Dengan tekad yang besar, usaha Khudori sebagai penjual mi dan nasi goreng pun berhasil bertahan hingga saat ini.
Baca juga: Mengenal Basil, Tanaman Magis yang Dianggap Suci dan Simbol Cinta Sejati
Nama "Sri Mulya" yang diusungnya menjadi simbol cinta kepada istrinya dan keluarga.
"Nama itu adalah doa. Makanya saya ambil dari nama keluarga dan istri. Semoga bisa langgeng dan berkah," ujarnya.
Khudori mengenal Mulyati sejak kecil. Saat remaja, Mulyati bekerja sebagai pramuniaga dan sering membeli mi buatannya.
"Iya dulu pas masih jualan mi di Pasar Poncol, ia (Mulyati) itu sering beli mi. Jadinya kenal dan saya lama," kenangnya sambil tersenyum.
Kini, pasangan tersebut sudah menjadi kakek-nenek dengan dua anak dan tiga cucu.
Di Warung Sri Mulya, Khudori menawarkan berbagai masakan, termasuk nasi goreng, mi goreng, cap jay, fuyung hay, dan mi kuah.
Harga yang ditawarkan cukup terjangkau, yaitu Rp 15.000 untuk mi kuah, mi goreng, dan nasi goreng.
Baca juga: Bukan Sekadar Cinta, Fakhris dan Inti Ubah Romance Jadi Bisnis Masa Depan
Jika pelanggan ingin menambah telur dadar atau telur ceplok, hanya perlu menambah Rp 3.000.
Untuk cap jay atau fuyung hay, harga per porsi adalah Rp 25.000.
Warung ini buka setiap hari mulai pukul 16.00 hingga maksimal 01.00 dinihari, tergantung sepinya pembeli.
Khudori menyiapkan sekitar 5 kilogram nasi dan 5 kilogram mi setiap harinya.
Aminullah, yang telah bekerja bersama Khudori selama 30 tahun, mengungkapkan bahwa sosok Khudori patut dicontoh.
"Juragan itu (Khudori) orangnya sederhana, kalem. Guyonannya ringan-ringan saat memasak," ujarnya.
Salah satu pelanggan, Diana Rahmawati, mengaku mengenal mi Sri Mulya dari ayahnya yang sering mengajaknya makan di sana saat kecil.
"Hampir keluarga besar saya sudah mengenal mi Sri Mulya. Karena mi-nya tidak terlalu manis sehingga gurihnya masih terasa banget. Saya tahu sejak kecil waktu diajak ayah," tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang