SURABAYA, KOMPAS.com - Jarum jam menunjukkan pukul 16.30 WIB, Ismail (65) mulai mempersiapkan berbagai peralatan memasak yang tersimpan di gerobak putihnya.
Sementara, Yurnita (60) terlihat sibuk mengelap kaca dan meja gerobak supaya terlihat bersih saat pengunjung datang.
Lalu, mereka kompak membuat adonan terang bulan berbahan dasar tepung dengan takaran yang sudah mereka hafal di luar kepala.
Setiap sore hingga malam, Yurnita memang selalu setia menemani suaminya, Ismail berjualan terang bulan.
Terang bulan -atau sebagian orang menyebutnya dengan nama martabak manis- yang mereka jual tergolong legendaris di Surabaya, namanya Terang Bulan Antika, berdiri sejak tahun 1974.
Baca juga: Hati Mulia Agus Sutikno, Pendeta Jalanan Bertato yang Sekolahkan 200 Anak
Saat menjelang pukul 17.00 WIB, pelanggan satu per satu mulai datang. Ismail pun terlihat menuangkan adonan ke dalam loyang ukuran sedang. Dua menit sekali dia mengecek kematangan agar tidak gosong.
Sementara Yurnita juga ikut berdiri di sampingnya, menunggu pekerjaan suaminya. Setelah adonan matang, Ismail menaburkan topping cokelat, kacang, keju sesuai pesanan pelanggan.
Yurnita lalu memotong terang bulan menjadi beberapa bagian. Kemudian memasukkan ke dalam kotak makanan.
Rutinitas ini mereka lalui setiap hari selama puluhan tahun. “Dari rumah tadi naik motor berdua sama ibu, rumah kami dekat dari sini,” kata Ismail.
Lokasi melapak terang bulan selama bertahun-tahun di Jalan Kranggan, Surabaya, memang tak jauh dari rumah mereka di Jalan Tidar. Cuma perlu waktu sekitar tiga menit menggunakan kendaraan roda dua.
Saat menunggu pelanggan, pasangan ini kerap terlihat duduk di kursi kayu panjang sembari mengobrol, demi menghilangkan kebosanan.
Baca juga: Embun Surga, Cahaya Harapan bagi Dhuafa Penderita Kanker di Purworejo
Ismail dan Yurnita, pasutri penjual terang bulan legendaris di Surabaya, Selasa (11/2/2025)“Jualan ditemani ibu setiap hari rasanya senang, gak senang. Senang kalau laku, gak senang kalau gak laku,” ucap Ismail dengan ketawanya yang lebar.
Kepada Kompas.com, mereka mengaku menikah pada tahun 1984 melalui perjodohan saat di kampung halaman, Tilatang Kamang, Bukittinggi, Sumatera Barat.
“Saya terima saat waktu itu dijodohkan. Namanya orangtua pasti ingin anaknya yang terbaik,” imbuh dia.