SURABAYA, KOMPAS.com - Di tengah hiruk pikuk masyarakat yang disibukkan dengan gadget, tampak anak-anak yang dengan riang memainkan egrang, hula-hoop, bakiak, gasing, dan karapan sapi dari bambu.
Pemandangan itu terlihat di tengah event Car Free Day (CFD) di Taman Bungkul, Surabaya, pada Minggu (23/2/2025).
Tak sedikit dari mereka yang baru pertama kali mengenalnya, sehingga para orangtua atau pendamping dari Kampoeng Dolananlah yang mengajarkan.
Di bawah sinar matahari pagi, terukir tawa lebar di wajah mereka, meskipun sembari berpeluh keringat. Satu dua kali gagal, tak membuat mereka menyerah.
Baca juga: Usai Dilantik, Bupati Jember Turunkan Retribusi Pasar Tradisional
Founder Kampoeng Dolanan Surabaya, Mustafa Sam, mengungkapkan, banyak anak-anak yang antusias mencoba permainan itu begitu melihatnya.
“Misalnya tadi ada anak yang setelah nyoba mainan tradisional, kemudian dia tiba-tiba menawarkan pengunjung yang lewat untuk ikut main juga, padahal dia enggak kenal sebelumnya, dan dia juga mau ngajarin. Itu yang disebut seorang manusia seutuhnya,” jelas Cak Mus, panggilan akrab Mustafa.
Baca juga: Nestapa Muhasir, Nelayan Tradisional di Pelabuhan Ikan Terbesar Muncar Banyuwangi
Melalui cara tersebut, tumbuh rasa percaya diri, peduli, dan kerja sama dalam diri individu anak.
“Orang-orang zaman dulu beranggapan mainan tradisional yaudah gini saja, padahal kalau dikaji lebih dalam banyak manfaat positif yang didapatkan secara psikologis dan mental,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, pada dasarnya permainan tradisional dapat mendekatkan diri kepada tiga aspek yaitu diri sendiri, lingkungan dan sesama, serta Tuhan Yang Maha Esa.
“Misalnya boy-boyan ini dibuatnya dari bambu yang berasal dari tumbuhan, ditanamnya oleh manusia, dan ditumbuhkannya oleh Tuhan. Selain itu, juga bermanfaat sebagai permainan,” kata Cak Mus.
Kini, Kampoeng Dolanan tengah mendampingi lima kampung di Surabaya. Salah satunya, Kampung Engklek yang bertepat di Jalan Sidotopo Wetan.