KOMPAS.com - Setiap pertandingan bola di Surabaya, bukan hanya klub kesayangan yang ditunggu.
Jajanan lumpia juga akan selalu dirindukan suporter saat di stadion. Tradisi kuliner ini tak lepas dari cerita Kampung Lumpia.
Menyusuri perkampungan Ngaglik, Gang Kuburan, Kelurahan Kapasari, Kota Surabaya. Ada gapura “Kampung Lumpia” sebagai penanda pintu masuk.
Kampung Lumpia Surabaya termasuk pemukiman padat penduduk. Rumah-rumah yang berada di kawasan itu dibangun tanpa ada jarak, hanya jalan selebar satu meter menjadi pemisah.
Dapur untuk memasak kulit lumpia dibangun di teras rumah. Rasanya, setiap pagi hingga malam, aktivitas masyarakat di Kampung Lumpia seperti tak pernah mati.
Baca juga: Resep Lumpia Goreng Isi Daging Udang, Sajian saat Natal di Filipina
“Kami bikin kulit lumpia itu dari pagi kadang sampai sore. Sehari bisa bikin 7.000 lumpia tapi kalau Sabtu-Minggu bisa 10.500,” kata Sukarsipah, produsen lumpia di Kampung Lumpia Surabaya kepada Kompas.com, Senin (9/12/2024).
Sukarsipah dan Kusno menjadi pelopor Kampung Lumpia sejak diresmikan pada 2021 lalu. Pasangan suami-istri ini berjualan lumpia sejak tahun 1990-an.
Pada awalnya, Kusno dan Sukarsipah membutuhkan biaya tambahan untuk menghidupi delapan anaknya selain dari pekerjaan sebagai kuli bangunan dan tukang binatu.
“Terus kami belajar dan menjualkan lumpia dari tetangga almarhum Bu Siti dan Pak Karyono. Kami tawarin dari rumah ke rumah, sampai ke Kenjeran sana,” ucapnya.
Pelan tapi pasti, meski sempat putus asa karena tak laku-laku, dagangan lumpianya makin laris dan dikenal banyak orang karena penasaran dengan cita rasanya.
Sepeninggal Siti dan Karyono, resep lumpia diwariskan oleh Sukarsipah dan Kusno karena seluruh anaknya enggan menjadi penerus.
“Akhirnya kami coba masak di rumah, alat-alatnya juga dikasihkan ke kami. Coba terus bikin lumpia sampai menemukan rasa yang enak,” terangnya.
Arif, pemasak kulit lumpia milik Sukarsipah dan Kusno.Sukarsipah dan Kusno mulai menjajakan lumpia ke Stadion Gelora 10 November Tambaksari yang lokasinya hanya 200 meter dari rumahnya.
Antusiasme Bonek yang menonton pertandingan Persebaya kala itu menjadi sasaran empuk bagi mereka sebagai penglaris.
“Dulu nyebutnya lumpia Bonek. Nama Persebaya juga masih perserikatan seinget saya. Bapak jualan keliling bawa 50 lumpia tiap hari,” ujar perempuan berusia 58 tahun tersebut.