MADIUN, KOMPAS.com - Tim investigasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur menemukan fakta baru dalam kasus penjualan satwa milik BKSDA Jatim yang dititipkan di Madiun Umbul Square.
Tim menemukan adanya penjualan satu satwa lain di Madiun Umbul Square, yakni seekor anakan rusa tutul.
Kabid KSDA Wilayah I Madiun, Agustinus Krisdijantoro yang dikonfirmasi Kompas.com, pada Kamis (12/9/2024), menyatakan, temuan satu satwa lain yang dijual berdasarkan penelusaran tim. Dengan begitu, total satwa milik BKSDA Jatim yang dijual sebanyak tujuh ekor.
"Hasil penelusuran kami ada temuan satu ekor anakan rusa totol juga dijual oleh pihak Umbul Square ke Ngawi. Dengan demikian total ada tujuh satwa BKSDA Jatim di Umbul Square yang dijual ke orang lain," kata Agus.
Baca juga: Kasus Penjualan Satwa BKSDA di Madiun Umbul Square, Pemkab Terjunkan Tim Investigasi
Agus mengatakan, berdasarkan pengakuan manajemen, anak rusa totol dijual pada awal Maret 2024. Satu anakan rusa totol dijual seharga Rp 15 juta.
Hanya saja, pengakuan manajemen uang penjualan anakan rusa itu tak jadi diterima lantaran saat diantar ke pembeli tiba-tiba mati.
"Pengakuan direktur Umbul, uang itu tidak jadi diterima karena anak rusa totolnya mati," kata Agus.
Baca juga: 6 Satwa BKSDA Jatim Dijual Pihak Madiun Umbul Square, Polisi Selidki
Kendati demikian, manajemen Umbul Square tetap wajib mengembalikan tujuh satwa titipan yang dijual.
Hingga saat ini, total satwa BKSDA Jatim yang dititipkan di Umbul Square sebanyak 130 ekor. Selama dititipkan tidak ada penukaran seperti yang diklaim manajemen Madiun Umbul Square.
Akibat penjualan tujuh satwa tersebut, kata Agus, negara dirugikan hingga ratusan juta rupiah. Ia mencontohkan, satu ekor indukan antelop di pasar dijual ratusan juta rupiah. Sementara tiga antelop milik BKSDA Jatim dijual Rp 136 juta saja.
"Kalau ditotal kerugian negara mencapai ratusan juta rupiah," ungkap Agus.
Menyoal BKSDA Madiun tak kunjung melaporkan penjualan tujuh satwa ke polisi, Agus menuturkan pihaknya masih menunggu petunjuk dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Petunjuk itu menjadi penting sebagai dasar pelaporan ke polisi.
"Kami masih menunggu petunjuk dari pimpinan (Menteri) di Kementerian LHK karena kami di sini hanya unit pelaksana di bawah Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Kementerian LHK. Untuk itu kami menunggu petunjuk untuk tindak lanjut (berupa laporan ke polisi atau bagian hukum Kementerian LHK). Jadi kami tinggal menunggu petunjuknya saja," ungkap Agus.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang