Sejarawan Lumajang Mansur Hidayat mengatakan, secara bukti tertulis kapan tradisi ini mulai ada saat menjelang Ramadhan.
Namun, secara antropologis, jejaknya bisa diketahui dari perilaku masyarakat yang telah turun temurun melakukan tradisi ini.
Menurut Mansur, masyarakat jawa biasa menyebut tradisi nyekar dengan sebutan nyadran.
Istilah nyadran berasal dari kata Shrada dalam kitab negarakertagama.
Dalam Babad Negarakertagama, diceritakan pada tahun 1.361 masehi Raja Hayam Wuruk memperingati 12 tahun meninggalnya neneknya yakni Raja Patni.
Baca juga: Menengok Tradisi Nyadran Seribu Ingkung Jelang Ramadhan di Gunungkidul
Peringatan itu dilakukan dengan cara membersihkan candi-candi pendarmaan tempat abu Raja Patni diletakkan.
"Dalam perkembangannya saat masuknya Islam, tradisi ini kemudian diakulturasikan sehingga seluruh jawa rata-rata saat menjelang ramadhan melakukan tradisi nyadran," terang Mansur.
Mansur menjelaskan, secara filosofis, tradisi nyadran berarti mendoakan arwah leluhur secara ghaib dan membersihkan makamnya secara fisik.
"Mendoakan arwah leluhur secara ghaibnya dan secara fisik dibersihkan (makamnya)," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.